Part 37

1.4K 211 9
                                    

"Nenek lo telepon gue lagi."

Tangan Sakha yang tengah memetik gitar secara asal-asalan otomatis berhenti. Dia mendongak, menatap Nanda yang berdiri menjulang di hadapannya sambil mengulurkan ponsel, memperlihatkan panggilan terakhir dari nenek Sakha sekitar beberapa menit yang lalu.

"Bilang kalau nanti gue bakal telepon balik," sahut Sakha sebelum kembali berkutat dengan gitarnya.

Nanda mengembuskan napas panjang. Memasukkan ponsel ke saku celana, dia lantas duduk di samping Sakha. Kerlingan jahil yang biasa ditampakkannya, berubah serius.

"Lo nggak bisa kayak gini terus, Sak."

Sakha menoleh sebentar. "Kayak gini gimana?"

"Melarikan diri dari masalah. Gue tau lo masih terpuruk sama ucapan nyokap lo, tapi lo juga nggak bisa buat bikin nenek lo khawatir. Balik sekolah Sak, masa depan nggak akan pernah datang kalau bukan lo yang menjemput lebih dulu," tukas Nanda tegas.

Selama tiga hari ini, Sakha memang menginap di cafe Shine yang merupakan kepunyaan ibu Nanda. Awalnya, Nanda memang bingung sekaligus terkejut karena kedatangan Sakha secara tiba-tiba ketika cafe ingin tutup dan dengan penampilan yang luar biasa berantakan.

Namun, Nanda mengerti, bukan waktunya untuk bertanya, melainkan menolong cowok itu terlebih dahulu. Sebab, Sakha pasti akan bercerita setelah dia berhasil menenangkan diri. Berteman selama tujuh tahun dengan Sakha membuat Nanda paham tabiat cowok itu.

Benar saja, ketika Nanda baru pulang sekolah di keesokan harinya, Sakha benar-benar mengatakan tentang permasalahan yang sedang terjadi pada dirinya. Walaupun tampak tenang, tapi Nanda melihat ada kekosongan di dalam kedua bola mata Sakha, pun dengan tubuhnya yang bergetar. Berkali-kali, Sakha menghela napas kasar, seakan-akan tengah menahan himpitan beban di pundaknya.

Dan, Nanda tahu, kalau Sakha sudah berada di titik terlemahnya. Titik yang belum pernah ditunjukkan oleh Sakha kepada siapa pun sebelumnya. Bahkan ketika cowok itu dikeluarkan dari sekolah sekalipun. Meski begitu, sebagai teman, Nanda berharap Sakha akan bangkit lagi dan kembali seperti sedia kala.

Sakha menunduk, menatap senar gitarnya lamat-lamat lalu tersenyum masam. "Masa depan apa yang harus gue jemput Nan? Gue udah nggak punya masa depan lagi."

"Lo punya masa depan Sak. Lo punya. Gue nggak minta lo buat langsung bangkit gitu aja, tapi jangan ngebiarin diri lo terseret terlalu dalam sama kesedihan itu."

Sakha mengalihkan pandangannya ke arah Nanda. "Buat siapa masa depan gue, Nan? Rasanya percuma kalau nyokap aja bahkan nyesel udah ngelahirin gue ke dunia."

"Setidaknya apresiasi diri lo sendiri, Sak."

"Apresiasi gue terhadap diri gue udah hancur bersamaan dengan kasih sayang nyokap yang hilang, Nan."

Kemudian, Sakha berdiri, lalu melenggang menuju pintu. Sebelum keluar, Sakha kembali berucap, "Gue nggak akan putus sekolah, kalau itu yang lo cemasin. Tapi gue balik sekolah cuma karena sebatas balas budi sama bokap lo dan tanggung jawab sebagai kapten basket."

Begitu tubuh Sakha menghilang di balik pintu, Nanda langsung menyandarkan punggungnya di sofa sambil memejamkan mata.

Sakha memang sudah berada di batas keputusannya.

~~~

"Kha."

Sakha baru saja turun dari panggung cafe setelah menyelesaikan nyanyiannya ketika pribadi bertubuh mungil yang sangat tidak ingin dia temui tiba-tiba muncul di hadapannya. Raut wajah Sakha seketika berubah datar, dengan kedua tangan tenggelam dalam saku jaket.

Ineffable (Tamat)Where stories live. Discover now