Part 34

1.5K 222 8
                                    

Aerylin pikir, kekesalan Momo akan berakhir setelah keesokan harinya. Namun, ternyata dia salah. Cewek berambut sebahu itu terus bersikap acuh tak acuh, dan hanya akan menjawab singkat kalau dia bertanya. Membuatnya dan Cecel tidak bisa melakukan apa pun selain menunggu mood Momo kembali membaik.

Meski begitu, Aerylin tetap merasa ganjil. Karena biasanya, mereka akan pergi ke kantin bersama, tapi kali ini, hanya ada dia dan Cecel.

"Momo masih ngambek sama gue, ya?" tanya Aerylin sambil mengaduk-aduk mie ayamnya yang belum tersentuh sama sekali.

Cecel menggeleng. "Jangan ngerasa bersalah gitu. Momo cuma salah paham aja sama Sakha," ucapnya, merasa kasihan dengan Aerylin yang tampak murung.

Sebenarnya, dia mengerti dengan kekhawatiran Momo yang ingin melindungi Aerylin Sakha. Hanya saja, dia menyayangkan sikap Momo yang terkesan berlebihan, hingga menyebabkan renggangnya hubungan mereka.

"Cel, nggak tau kenapa, semakin gue mengenal Sakha, semakin gue yakin kalau Sakha nggak seburuk yang Momo bilang. Mungkin, dulu memang bener. Tapi sekarang, pasti dia udah berubah."

"Iya, gue ngerti, Yer. Mungkin Momo cuma butuh waktu doang," ucap Cecel, menenangkan. Dia sadar, di saat begini, dia harus menjadi penengah di antara kedua sahabatnya.

"Gue harap juga gitu."

Seulas senyum terukir di sudut-sudut bibir Cecel. "Nah, sekarang, harus senyum, dong. Nggak boleh sedih lagi. Tuh, lihat. Mie ayam lo jadi ngembang kayak pipi lo."

Aerylin merenggut, tapi sedetik kemudian dia langsung terkekeh seraya menggoyang-goyangkan pipi tembamnya. "Chubby banget, ya?"

Cecel mengangguk mantap. "Kayak lagi makan dua bakpao."

"Dih? Kayak lo enggak aja," cibir Aerylin.

"Enggak, lah. Gue, kan, calon model. Harus perfect." Cecel mengibaskan rambutnya dengan senyum angkuh, yang lantas dilempari tisu oleh Aerylin.

"Najis."

Sontak, Cecel terbahak. Beruntung, suasana kantin sedang ramai-ramainya, hingga tawa keras Cecel cepat teredam oleh suara para murid di sana.

"Btw, Yer. Lo masih inget sama yang namanya Nanda, nggak?" tanya Cecel tiba-tiba, membuat Aerylin yang ingin makan mie ayam, langsung urung dilakukannya.

"Inget. Kenapa?" Bagaimana dia bisa lupa dengan cowok yang pernah digoda oleh Cecel hingga pipinya memerah?

"Gue mimpiin dia. Tiga kali berturut-turut. Tau aja kalau gue lagi kangen," ucap Cecel sambil senyum-senyum.

"Jodoh kali," celetuk Aerylin asal.

"Aamiin paling kenceng! Kalau gue beneran jodoh sama dia, anak-anak gue pasti bibit unggul banget."

"Lo mikirnya kejauhan, Cel. Siapa tau dia udah punya pacar."

Cecel mengibaskan tangan, tak peduli. "Baru pacar, bisa ditikung. Selama janur kuning belum melengkung, Nanda masih punya kita bersama."

"Berarti gue juga bisa antri buat dapetin Nanda, dong?"

"Heh! Lo mau kita jambak-jambakan? Jangan serakah lo. Kan, udah ada Sakha." Mata Cecel sudah melotot, seakan ingin menelan Aerylin hidup-hidup.

"Apa, sih? Gue nggak ada hubungan apa-apa sama dia."

"Iya, sekarang nggak ada hubungan. Nanti juga pasti jadi official."

"Cel!"

Tawa Cecel langsung berbaur dalam kebisingan yang terjadi di kantin. Meski diam-diam, dia juga bersyukur karena salah satu sahabatnya sudah mau tersenyum.

Ineffable (Tamat)Where stories live. Discover now