*04. Kissing You*

5.9K 950 162
                                    

Dua minggu lagi hari pernikahan sang kakak- Rere. Al senantiasa berdoa tiap hari, semoga kebahagiaan selalu mengiringi kehidupan kakak tercintanya itu.

Al dulu berpikir, ia akan kuliah di jurusan fakultas kedokteran lalu berangan-angan jauh akan mengambil spesialisasi jantung. Ia ingin menjadi yang pertama bisa menyembuhkan kakaknya. Namun, keadaan berubah.

"Jadi, apa pun yang lo mau, Al. Buat diri lo sendiri. Bukan buat gue. Ini hidup lo. Jangan berpikiran sempit pengin jadi dokter cuma buat gue. Jangan, Al. Itu salah."

Al sempat down. Frustasi berat karena lelaki pintar itu tidak lulus tes masuk jurusan kedokteran seperti yang sudah ia harapkan. That's a big trouble!

"Lo nggak jadi dokter, bukan berarti kehidupan lo berakhir. Lihat gue! Gue udah sembuh."

Baru pertama kali Al melihat Rere menangis karena dirinya. Rere menangis saat Al menceritakan alasannya ingin menjadi dokter.

"Gue pengin nyembuhin elo, Kak."

"Gue udah sehat! Lo nggak perlu khawatir lagi."

"Gue takut lo bakal sakit lagi, Kak. Pindahin aja sakitnya ke gue. Bakal gue terima dengan sepenuh hati. Jangan elo. Biar gue aja yang rasain sakit itu."

"Al...."

"Terus, terus nanti kalau Papa sama Mama sakit, gue nggak bermaksud doain buruk. But, I want to...." tangis Al semakin pecah. "Gue pengin bisa menyembuhkan lo, Papa, Mama, dan diri gue sendiri."

"Jadi dokter bukan berarti lo punya hak istimewa untuk menyembuhkan semua penyakit yang ada. Hidup dan mati, semuanya tetap ada di tangan Tuhan. Dokter cuma perantara, Al. Coba lo pikirin lagi. Semuanya nggak segampang itu."

Ya, Al hanya berpikir ia pintar. Ia bisa segalanya. Laki-laki itu ingin jadi dokter lalu menganggap semuanya mudah- menyembuhkan sakit seseorang.

"Gue mau lo menjadi seseorang yang bahagia dengan pilihan hidup lo. Kalau lo masih pengin nyoba daftar lagi, daftar aja. Tapi, gue mohon. Jangan sefrustasi ini saat elo gagal. Bisa jadi, takdir hidup lo emang bukan jadi dokter."

Dan di sinilah Al berada, di kelas management bisnis. Ia menikmati masa-masa kuliahnya yang terbilang masih baru. Sebutan maba masih menjadi gelarnya di kampus itu.

Al keluar dari dalam kelas saat kelasnya sudah usai lalu ia berjalan menuju ke kantin. Ia langsung mengambil sesuatu dari lemari pendingin dan membayarnya. Kemudian Al menghampiri Anna yang tengah duduk bersama seorang perempuan berambut pendek dengan dua lesung pipinya yang menarik perhatian semua laki-laki saat dirinya tersenyum.

"Minum nih," ujar Al memberikan satu kotak susu Milo untuk Anna lalu satu kotak lagi untuk dirinya sendiri.

Anna mendongakkan kepalanya, tidak sadar sudah ada Al di sampingnya. "Ih, lo ngagetin gue aja."

"Lagi ngomongin apaan?" tanya Al. "Serius amat."

"RAHASIA!" ucap Anna dan temannya itu serentak.

"Lo.... Vanilla?" Al meneliti raut wajah perempuan itu. Tidak salah lagi! Pasti itu Vanilla. Perempuan yang sering Anna ceritakan.

"Iya," sang empunya nama tersebut mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kok lo tahu? Kita 'kan belum pernah kenalan."

"Lo sering diceritain sama An- emph," berkapan tangan Anna tiba-tiba mendarat pada mulut Al.

"Diem," sungut Anna. "Nggak usah ngadu yang macem-macem."

"Galak amat, sih!" kesal Al sembari menghempaskan tangan Anna dengan pelan.

AlannaWhere stories live. Discover now