*05. Jangan Kasar!*

5.6K 948 188
                                    

Al pikir, setelah ciuman itu Anna akan lebih luluh padanya. Namun ternyata, tidak! Anna justru menjaga jarak. Bahkan, Anna nekat tidak ingin tinggal di apartemen Al lagi. Al lebih suka, jikalau Anna dengan mulut embernya udah mengomel panjang kali lebar. Bukan seperti sekarang ini, hanya bungkam layaknya patung.

Jangan kasar! Jangan kasar. Nggak usah ngegas. Ntar Anna malah makin ilfeel.

Al bermonolog dengan dirinya sendiri.

"Lo tinggal di sini aja untuk sementara waktu." Kurang baik apa lagi coba Al? Sungguh hatinya begitu mulia 'kan?

"Gak," jawabnya singkat. "Tugas gue di sini udah selesai."

"Kalau lo nekat pulang, Nyokap lo pasti bakal mukulin elo lagi, Na."

"Lebih baik gue dipukulin sama Nyokap gue, daripada dilecehin sama elo!" semprot Anna dengan sorot matanya yang berapi-api.

Al terkejut. Biasanya Anna tidak pernah separah ini marah dengannya. Ya, mereka sering ciuman. Namun, mereka juga sering meributkan tentang hal itu.

"Sorry," ucap Al dengan tulus. Ia tidak sadar sudah menyakiti hati Anna atau mungkin ia secara tidak sengaja membuat trauma perempuan itu muncul kembali. "Gue.... gue nggak bermaksud nge- bukan itu pokoknya. Maksud gue baik, Ann."

"BAIK APANYA?!" bentak Anna. Kini perempuan itu sudah berderai air mata. Al semakin tidak tega. Jujur saja, Al tidak suka melihat ada perempuan yang sedang menangis di hadapannya.

"Ssttt, sstttt, udah jangan nangis lagi," Al menelan ludahnya lalu berusaha mendekap Anna. Namun perempuan itu terus menghindar. Ia bolak-balik menepis tangan Al dengan kasar. "Lo pasti lagi PMS. Sekarang 'kan tanggal tua. Iya, lo pasti lagi sensitif banget. Maafin gue, ya."

Bukannya menghentikan tangisnya, Anna semakin meraung-raung. Entah apa yang ia tangisi. Al bingung. Ciuman itu sudah lewat dua hari. Tapi, kenapa baru sekarang kemarahan akibat ciuman itu terlampiaskan? Aneh!

"Udah dong. Jangan nangis," ujar Al tidak tenang. Kedua tangan laki-laki itu sangat gatal ingin menyeka air mata Anna. Tapi, apa boleh buat. Anna tidak mengizinkannya untuk bergerak mendekat. "Gue yang salah. Gue minta maaf. Udah, ya."

"Hiks, hiks.... hiks. Hiks." Kedua tangan Anna terkepala, ia menatap Al penuh dendam.

"Lagian, kita 'kan udah sering ciuman. Lo juga pernah ngasih gue jatah. Biasanya lo nggak pernah seribet ini deh, Ann. Kenapa baru kali ini marah, hah?" Al mencari pembelaan. Ia merasa, tidak sepenuhnya bersalah. Bukankah, pertemanannya dengan Anna memang anti-mainstream seperti itu?

"BEDA!" bentak Anna dengan nada tinggi yang membuat Al tersentak. "Biasanya lo minta izin dulu. Biasanya lo main lembut. Biasanya elo nggak ngelakuin itu di tempat umum."

Oke, Al paham. Kesalahannya melakukan itu di area parkir? Apa ada yang mengintip? Tapi, kan di dalam mobil. Meskipun mobilnya setengah terbuka. Jauh dari itu, sebernarnya Al tidak peduli. Anna saja yang mempeributkan hal-hal sepele itu.

"Usually you treat me like a queen, ta-tapi kemarin..." suaranya tercekat. "You treat me like a whore."

"Hah?" Al membuka mulutnya, tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Lidahnya kelu. "Like a whore?" ulang Al dengan nada sepelan mungkin. Namun, Anna tetap bisa mendengarnya.

"Lo berubah, Al! Lo jadi lebih gampang marah."

Elo kali, Ann. Lo yang gampang marah. Lihat aja, sekarang siapa yang lagi marah?

"Maksud gue tuh, gue.... gue nggak suka lo ngomongin Vanilla. Lo terlalu berharga buat jatuh cinta ke sesama jenis."

"Lo jijik sama gue?"

AlannaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang