9. Hari ternormal

1.9K 228 45
                                    

Dari akhir bulan Desember sampai akhir Februari nanti adalah jadwal kampus untuk kegiatan Seminar Proposal Skripsi. Mahasiswa sudah libur, jam perkuliahan sudah selesai jadi kelas-kelas bisa digunakan untuk Seminar Proposal Skripsi. Untuk jadwal sidang skripsi biasanya di bulan Juli, Agustus, Oktober, Januari, dan Februari.

Aku celingukan begitu menyatu dengan para mahasiswa yang berseragam hitam-putih beralmamater merah marun milik kampus kami. Di depan koridor Fakultas Ilmu Komunikasi sudah banyak manusia yang berseragam mau pun bukan. Di sekeliling banyak manusia yang sedang merayakan kebahagiaan bersama dengan yang baru menyelesaikan acara seminar.

Kelvin mengatakan bahwa ruangan Rifando di mana melaksanakan seminar itu di lantai dasar, dekat dengan laboratorium komputer, dan di depannya ada sebuah taman kecil. Tadi aku berangkat memisah dengan Kelvin karena baru teringat membelikan sesuatu. Cowok itu ingin berangkat lebih awal menemui teman-temannya juga yang lain dari jurusannya.

Aku juga sebenarnya ada janji untuk menemui Yudha, pemuda itu juga mendapat jadwal seminar hari ini. Jadi, sebenarnya kedatanganku tidak akan lama-lama bersama Rifando.

Aku melihat ke kanan-kiri banyak manusia yang berbagi momen kebersamaan dengan tertawa, bercanda, dan mengambil gambar. Belum lagi atribut yang digunakan untuk menambah heboh suasana berupa balon, selendang, bunga-bunga dan hiasan seperti mahkota.

Kakiku terus berderap mencoba mencari, dibantu dengan ingatan letak keberadaan lab komputer milik Fikom. Aku melihat di papan penanda di atas ada tulisan dan belok di koridor itu. Tidak jauh dari belokan itu langsung berhadapan dengan deretan kelas dan di depan koridor ada taman kecil dengan kursi-kursi kecil. Sebuah pohon besar, disertai air terjun mini, dan beberapa buah pohon hiasan.

Di salah satu kursi ada segerombol orang salah satunya mirip dengan Rifando, dan ada Kelvin juga. Rifando yang menggunakan seragam putih-hitam dengan dasi panjang, dan memakai almamater kampus. Di tangan cowok itu memegang sebuah hardcopy setebal kitab suci. Di sebelahnya berdiri sosok yang membelakangi alias Kelvin yang memakai kaus lengan pendek warna abu-abu, dan celana jeans biru. Di sebelah mereka ada sosok perempuan cantik dengan kemeja warna pink dan rok selutut warna biru lavender.

Rifando yang lagi mengedarkan pandangan mendapati diriku yang baru saja memasuki taman. Cowok itu bangun dari duduknya menyerahkan print out skripsinya ke Kelvin, dia langsung melangkah cepat padaku. Senyuman lebar di wajah cowok itu tak bisa disembunyikan.

"Aku kira kamu nggak bakalan ke sini," ujar Rifando sambil memeluk diriku.

"Hai Andah!" Suara ceria itu berasal dari Nilla, aku hanya membalas dengan lambaian tangan sekilas.

"Hai Nilla!"

Aku mengerjapkan mata tak percaya dengan kelakuan cowok ini, aku yang seharusnya duluan menyapanya, dan memberikan ucapan selamat bukan? Mengapa dia yang duluan memeluk? Kenapa sih pake meluk segala begini? Tapi aku juga kangen banget sama Rifando. Aku balas memeluk cowok itu, hanya beberapa detik kemudian segera sadar diri. Pandanganku tertuju pada Nilla yang sedang duduk memperhatikan kami dengan tatapan matanya yang menunjukkan raut terkejut. Senyuman cerah Nilla tadi mendadak berubah menjadi garisan lurus.

"Ya kenapa aku nggak dateng?" tanyaku balik. "Selamat ya udah sampai tahap ini. Lancar kan?"

Rifando sudah melepaskan pelukannya lalu menganggukkan kepala. "Makasih udah dateng, aku takut kamu nggak mau dateng. Soalnya tadi Kelvin bilang kamu nyusul, kan bisa aja kamu ketiduran terus nggak dateng? Tadi sidang semproku lancar kok. Ada tambahan yang perlu didiskusi nanti sama Dosen pembimbing skripsi," jawab Rifando senyumannya simpul.

Cowok itu mengajakku untuk duduk di tempat di mana Kelvin dan Nilla berada. Aku menyapa Nilla sekilas, dan mendapat tatapan penuh makna oleh Kelvin. Abangku masih setia megangin makalah skripsi milik Rifando, solid banget kalau lagi akrab. Ya begitulah teman akrab, kalau berantem kayak singa ngamuk, namun pas lagi adem ayem seperti kucing. Di kursi itu Rifando menarik tanganku untuk duduk di sebelah kanannya. Aku lega dengan posisi duduk saat ini tak bisa melihat wajah Nilla.

MenepiOnde histórias criam vida. Descubra agora