13. Tulang lunak

1.7K 208 65
                                    

"Kak Andah tau nggak, setiap hari Bunda ditelepon sama Bang Fando."

Aku tidak mau mendengar nama cowok itu lagi tetapi cerita Rafel menarik minatku. "Ngapain? Ngomel ya karena kamu pinjem duit? Kamu nggak bayar jadi nunggak. Terus Doyi nagihnya ke Bunda?"

"Bukaaan itu! Kak Andah suudzon banget sama Adek sendiri." Tolak Rafel dengan nada penuh penekanan.

Saat-saat pelarianku menghindari Rifando beberapa kali Bunda mengajak aku berbicara, menanyakan tentangku dan Rifando. Aku belum bercerita yang sebenarnya ke Bunda bagaimana perasaan asliku pada cowok itu. Bunda menanyakan mengapa aku jarang menggubris pesan Rifando, cowok itu jadi menanyakan lewat Bunda. Karena dia pasti malas bertanya ke Kelvin yang bodo amatan dengan hal tentangku.

"Terus apa?" Aku menatap Rafel penasaran, namun aku tutupi dengan raut wajah sok cuek.

"Nanyain Kak Andah-lah, tapi kayaknya Bunda suka nelepon duluan tuh."

"Hah, pas kapan nelepon duluan? Ngapain? Ngomongin apa? Kamu nguping orang dewasa, bocil."

"Yang pas Kak Andah susah makan, Bunda bilang ke Bang Fando, kalo Kak Andah lagi galau dan susah disuruh makan. Terus yang pas ada Pizza, Hokben, KFC, Mcd, dan Solaria sebenarnya dikirimin sama Bang Fando, Kak. Bukan Bunda yang order. Bunda udah nolak tapi tetep aja makanan itu dateng. Bunda beberapa kali juga nelepon ngasih info ngirim makanan untuk Tante Emma, soalnya kalo bilang buat Bang Fando nanti ditolak."

Kejadian itu berlangsung saat aku belum bertemu dengan Rifando di kafe siang itu. Saat masih patah hati berat banget. Saat-saat aku menghindarinya, sok sibuk, dan kehilangan semangat bahkan napsu makan. Aku mengira makanan yang diantar Bunda ke kamarku adalah pesanan beliau atau bawaan dari tempat kerjanya. Namun ternyata aku baru tahu sekarang kalau makanan itu pemberian dari Rifando.

Tidak usah terbawa perasaan deh. Memangnya itu menandakan tuh cowok mencintai diriku, tidak kan? Setelah tahu ini, aku harus bagaimana dalam membalas kebaikan dirinya padaku.

"Terus kamu ngapain cerita? Maksudnya apa?" Entah mengapa pikiranku jauh berbeda dengan ucapan yang aku keluarkan dalam menanggapi cerita Rafel.

"Ngasih tau aja, emang kenapa sih Kak sama Bang Fando?" tanya Rafel seraya sandaran di pagar membelakangi area Ice Skating, tangannya sibuk sambil bermain game. "Aku kangen pengen main bareng lagi sama kalian. Tapi udah pada sibuk."

Iya sih kalau tidak dikasih tahu, aku tidak akan tahu apa-apa.

"Gapapa kok, biasa aja," cetusku sok cuek. "Kamu mau ke mana? Nanti aku temenin. Bang Kelvin lagi sibuk ngejar Semprop. Ucucucu, adik Kakak kesepian!"

"Ihhh, jangan lebay. Hm, Kak Andah nggak lagi ribut kan sama Bang Fando?" tanyanya asal banget.

"Kenapa ngomong gitu?" Hatiku mencelos gara-gara masalahku diketahui oleh orang lain.

"Eh, Bang Fando!!!!!!" seru Rafel heboh. Awalnya aku tidak percaya, tetapi Rafel terus berteriak berkali-kali.

Aku jadi menoleh ke arah Rafel sedang fokus melihat. Aku kira adikku sedang bercanda saja, nyatanya dua orang itu sungguhan ada.Di belakangku, dari arah depan toko mainan ada dua manusia itu. Aku hanya menatap datar pada Rifando dan Nilla yang lagi berjalan menuju kami.

"Bang Fando!!!" seru Rafel heboh. Anak berisik ini memang harus dilakban mulutnya supaya tidak bertingkah aneh-aneh.

Sekarang aku yang jadi khawatir kalau bocil ini akan merusak suasana dengan bicara yang aneh-aneh. Soalnya Rafel seperti toa masjid, bisa membuat orang-orang tahu ceritanya. Aku membeku melihat mereka semakin mendekat, aku menurunkan pandanganku yang segera tertuju pada jemari tangan Nilla yang bergandengan erat pada sela-sela jemari Rifando. Aku lemas tidak bisa berkata apa-apa. Tenggorokanku mendadak semakin tercekat.

MenepiWhere stories live. Discover now