15. Dia yang mengingatkan

1.7K 179 47
                                    

Saat ini aku sudah memasuki semester 6, kesibukan lagi akan menyambutku. Mata kuliah yang baru, cara belajar yang baru, dan kesibukan baru. Menegangkannya di semester ini, kami bertemu lagi dengan si dosen muda perfeksionis menyebalkan macam Pak Abraham. Di semester lalu nilaiku masih aman, tidak seperti gosip yang beredar. Namun bertatap muka dengannya di kelas satu semester lagi di mata kuliah Hukum Investasi membuat semester ini tidak aman banget. Cara pengajaran dosen itu tetap sama, akan memberikan materi setelah UTS dengan presentasi individu.

Sekarang sudah minggu ke-dua perkuliahan, kelompokku mendapat jadwal presentasi pertama. Kelompok untuk mata kuliah Hukum Keluarga dan Waris. Nanti mata kuliahnya dimulai pukul 10, namun saat ini masih jam 9 tetapi pembahasan pembagian materi sudah selesai. Bondan adalah ketua kelas yang pinter, perfeksionis, dan dengan permintaannya yang mengajak kami datang untuk membahas isi materi makalah sudah bisa ditebak bagaimana sosoknya. Dia memiliki kepribadian yang detail, dan terencana.

"Udah ya pemantapan buat presentasi nanti, gue apresiasi banget kalian mau dateng buat mempelajari materi presentasi ini," kata Bondan menutup acara pertemuan kelompok kami.

"Oke, kita bubar ya!" seru si Okta.

"Nanti jangan lupa ya balik pas jamnya, jangan kabur pulang," ledek Bondan sarkas.

"Ya kaliiiii kabur! Kocak lu," celetuk Malik sambil memutar bola matanya.

"Kalo nggak lupa jalannya ke kelas ya," kataku jayus.

"Nanti gue share loc kalo lupa," sahut Intan.

"Ya udah bubar! Bubar dah!" pekik Okta.

Setelah bubaran, anggota kelompok kami yang berisi lima orang bubaran memiliki tujuan masing-masing. Aku menyimpan fotokopi makalah ke dalam tas, untuk meninggalkan kantin FH. Aku sudah memutuskan ingin pergi ke tempat lain sambil menunggu jam selanjutnya. Tujuanku adalah taman teater greek FEB untuk ngadem sambil melanjutkan membaca novel. Sampai di sana hanya ada beberapa orang yang duduk sibuk masing-masing dengan kegiatannya. Di tempat itu sangat cocok untuk bisa membuatku tenang, dan masuk ke dalam dunia imajinasi novel yang aku baca.

"Andah,"

Aku sedang masuk berada di dalam sebuah dunia imajinasi novel yang aku baca. Tapi entah mengapa suara tokoh cowok yang berada dalam pikiranku, hasil mengkhayal narasi novel itu terdengar menjadi sangat nyata. Aku tak menggubris terus membaca novel.

"Andah, kamu pake headset ya?" Aku mendengar suara tak asing itu keluar bersamaan dengan seseorang sedang menarik rambutku ke belakang pundak. Aku melongo mendapati Rifando sudah duduk di sebelahku, tangan cowok itu sedang menyelipkan helaian rambut ke belakang telingaku.

"Enggak, eh kok kamu bisa di sini?" tanyaku menganga tak percaya. "Tiba-tiba muncul ngagetin aja kayak hantu." Ini cowok kayak baru keluar dalam novel yang sedang aku baca.

"Emang kenapa nggak seneng banget liat aku muncul?"

"Gapapa sih, emang kamu sering ke sini ya?"

"Tadi aku liat kamu di kampus dari pagi. Tapi keluar dari FH, jadi aku yakin ke sini."

"Oh, iya aku disuruh dateng lebih awal tapi diskusi kelompokku udah selesai. Sekarang nunggu dulu deh."

"Aku temenin, kamu nggak pake headset kok nggak denger suaraku ya?"

"Aku pikir lagi halu," kataku lalu menatap ke novel lagi. "Lagi masuk ke dunia fiksi ini, ngapain kamu ganggu aku sih?"

Cowok itu tertawa renyah seperti tak ada beban, dan aku tak mau membuatnya memiliki beban yang tak seharusnya dia dapatkan. Aku sudah berusaha tetap tenang menghadapinya, perlahan tetapi tidak membuatnya curiga atau merasa aneh terasingkan.

MenepiWhere stories live. Discover now