Chapter 9

4.1K 322 35
                                    

Nadia menatap jenuh pemandangan di depannya, seperti ada bom waktu didalam dirinya dan sekarang adalah waktunya dimana bom itu akan meledak, Nadia meremas pensilnya sampai patah untuk meluapkan emosi. 2 jam dirinya menunggu Alvano selesai rapat Osis, sampai dirinya menghabiskan uang jajan 10.000 untuk makan mie ayam Pak Mamad, setelah Alvano datang dirinya malah membawa Wawa juga untuk ikut belajar bersama, entah itu Wawa yang minta ikut ataupun Alvano sendiri yang mengajak, tapi menurut Nadia, Wawa itu hanya pura pura, kenapa?, karena menurut gosip yang yang Nadia dengar dari Rahma, Wawa itu pernah mengikuti olimpiade matematika juga di sekolah lama, yah alias pinter gitu.

Nadia memanyunkan bibirnya saat Wawa berdekatan dengan Alvano saat mengerjakan soal bersama, mereka berdua berbicara dengan dinamis saling mengerti, masuk gitu obrolannya satu sama lain, sedangkan tadi Alvano dengan kesabarannya yang tingkat limit, mengalami darah tinggi saat berbicara tentang angka dengan Nadia sehingga Alvano menyuruh Nadia untuk memahami dulu dasar dasar perhitungan ****** sendiri dulu.

Nadia merasa tidak adil, terzolimi, dan terkucilkan. Ia mengerutu dalam hati.

"Ya Allah, apa salah dan dosa hambamu ini, Ya Allah, mengapa disaat seperti ini, engkau malah menjadikan hamba sebagai baygon semprot."

"Udah paham?." Perkataan Alvano membuat lamunan Nadia buyar.

"Ee sedikit lagi." Nadia membolak balikan bukunya dengan mata masih menatap jengkel pada kedua orang yang ada didepannya, makin akrab serasa dunia milik berdua, yang lain ngekontrak. Dahlah, Nadia menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya.

Emosi yang tingkat menyebabkan kontraksi diperut Nadia, perutnya tiba tiba ingin buang air besar, memang perut kurang ajar, tidak bisa dikondisikan.

"Vano," panggil Nadia.

Alvano menoleh.

"Iya, udah paham Nad, kalo udah sini biar Aku koreksi."

"Eumm engga, gue pengen ke toilet bentar."

"Oh ya udah."

"Toiletnya, dimana."

"Lo lurus aja terus nanti ada tangga nah sebelah kiri tuh," jelas Alvano.

"Gue permisi dulu ya."

"Em."

5 menit sebelumnya.

Saat Alvaro sedang unjuk bakat menyanyinya di dalam kamar mandi kamarnya tiba tiba saja air showernya mati.

"Eh kenapa nih." Alvaro mengoyang ngoyangkan showernya kembali, belum ada reaksi lebih lanjut, masih macet.

"Huft." Alvaro mengambil handuknya untuk menutupi pinggang ke bawah dan beralih pergi menuju kamar mandi bawah. Ia malas jika harus mengenakan kamar mandi di kamar saudaranya. Setelah kejadian 1 tahun yang lalu, hingga kini dirinya belum bisa menerima kenyataan akan hal itu, di dalam hatinya masih tersimpan dendam yang membuatnya menjaga jarak dengan kembarannya itu. Bahkan untuk memakai sesuatu yang sama dengan kembarannya Ia pun enggan jika bukan karena Mamanya yang memaksa.

🐺🐺🐺

"Ini mungkin ya," gumam Nadia, dirinya berdiri di depan toilet yang diarahkan Alvano, tertutup?, Nadia yang sudah terlanjur kebelet tanpa basa basi segera meraih knop pintu, tidak terkunci.

"Hm." Nadia menarik sudutnya, masa bodo.

"Arghhhhhhhhhh"

"Arghhhhhhhhhhhhhhhhhhhh"

"ARGHHHHHHHHHHHH"

Nadia teriak histeris sejadi jadinya, begitu juga dengan Alvaro yang sedang asik asiknya mandi tiba tiba seseorang gadis tanpa permisi langsung menerobos masuk. Sungguh tidak etis, Nadia menutup wajahnya dengan telapak tangan, matanya ternodai, pemandangan yang seharusnya tidak Ia lihat di umur yang masih dini sekarang itu Ia lihat secara jelas nyata dan tanpa sensor, semoga nanti Nadia tidak bintitan. Alvaro dengan gesit mengambil handuk, untuk menutupi badannya bawah perut kebawah.

"Nadia lo nggakpapa." Wawa menyusul untuk mengecek Nadia, jeritannya membuat dirinya khawatir.

Alvaro menarik tangan Nadia ke dalam, lalu menutup pintu. Alvaro membekap gadis itu.

"Emmmpp." Nadia sesak nafas.

"Diam, syuttt gue nggak bakal ngapa ngapain lo, kalo lo tetep brisik yang ada malah nanti orang bakal salah paham." Alvaro melepaskan tangannya, Nadia mengambil nafas kembali.

"Wekkkk, tangan lo bau, ih habis cebok yeh," ujar Nadia karena tangan Alvaro.

"Engga cuma tadi coli bentar."

Nadia melotot, bola matanya hampir keluar dari sarangnya.

"Enggaklah canda," klarifikasi Alvaro.

"Nad lo ada didalem." Wawa sudah ada didepan kamar mandi ingin memastikan Nadia baik baik saja.

"Buruan jawab setelah dia pergi baru lo yang pergi," ujar Alvaro.

"Kenapa nggak barengan aja yang jawab," jawab Nadia polos, ya terkontaminasi dengan kegoblokan juga karena polos sama goblok beda tipis.

Alvaro menyentil dahi Nadia kasar.

"Ya bener banget, kita keluar bareng kayak gini habis itu orang orang nuduh gue ngapa ngapain lo dan akhirnya kita dijodohin kayak di novel novel gitu, wah indahnya hidup, ya enggak lah bodoh, lo jawab temen lo sekarang, abis itu lo keluar dari sini, paham, nggak paham gue bunuh lo," ujar Alvaro.

Nadia menelan salivanya atas ancaman Alvaro, lalu Nadia mengangguk.

Nadia mendongakan kepalanya keluar, sedangkan Alvaro bersembunyi dibalik pintu.

"Lo nggak kenapa napa kan Nad." Wawa mengedarkan pandangannya kedalam kamar mandi.

Nadia tertawa renyah.

"Oh itu tadi, eum enggak ada apa apa kok santai aja, tadi gue njerit gara gara tadi ada adaa....."

Haduh ada apa ya.

"Ah ada kecoa tadi, maaf ya jadi ngerepotin kamu." Nadia mengaruk tengkuknya pura pura merasa bersalah.

"Enggak papa kok, ya udah aku tinggal dulu yah." Wawa pamit undur diri.

"Iya makasih."

"Huft, hampir saja." Nadia mengelus dada lega.

Nadia memasukan kepalanya kembali. Alvaro menatap malas gadis didepannya.

"Udah cepet sono lo keluar, ganggu aja."

"Ck, iya sih bawel, gue juga ogah kali disini sama lo nggak aman buat masa depan gue."

Nadia memegang knop pintu untuk keluar, tiba tiba saja Ia merasa ada yang berjalan lembut di tangannya, seketika matanya melebar melihat seekor kecoa sedang asik nangkring ditangan yang sedang Ia gunakan untuk memegang gagang pintu.

"Aaaaaa."

"Ada apa sih lagi." Belum selesai Alvaro bertanya, Nadia sudah duluan melompat ke arah pria itu, reflek minta gendong. Sial handuk yang melingkar dipinggang Alvaro lepas.

"Lo kenapa."

Nadia memejamkan matanya, sembari menunjuk ke belakang asal.

"Ada kecoaaaa beneran, hih."

Nadia merasa ada yang menganjal disekitar bokongnya. Nadia menoleh ke bawah, matanya kembali melebar saat matanya menangkap pemandangan junior Alvaro tegak tanpa sehelai benang pun, tanpa basa basi Nadia turun dari gendongan Alvaro, pergi secepatnya dari kamar mandi itu tanpa sepatah katapun, yang ada sekarang hanya rasa malu, kesal, marah campur aduk didalam hatinya menjadi satu, kalo gado gado sih enak.

Alvaro tercenggang menatap gadis itu yang lari terbirit birit, sial sekarang adiknya tidak bisa diajak kompromi, bisa bisanya dia berdiri hanya karena cewek nyebelin itu. Alvaro memukul tembok sebagai pelampiasan.

"Menarik." Alvaro mengusap dagunya lalu tertawa jahat dengan ide yang tiba tiba ada dikepalanya.

Tbc.

ALVARO NADIA [COMPLETED]Where stories live. Discover now