Tiga Puluh Satu

213 24 2
                                    

Seluruh penghuni rumah mendadak sibuk menyambut kedatangan keluarga Pak Heru. Mama mengeluarkan peralatan makannya yang selama ini selalu disimpan di lemari dengan berkata, "anak gadis Mama dilamar jadi semuanya harus istimewa." Mas Reza juga pagi-pagi sudah menyetrika baju, padahal biasanya dia selalu minta mama yang menyetrika. Sedangkan papa, membersihkan ruang tamu dan ruang makan dibantu oleh Niko.

Mas Virza yang mendadak bisa masak setelah tinggal di Jogjakarta menyiapkan makanan membantu mama dan Mbak Nadia. Dan yang tidak melakukan apa-apa adalah aku. Mbak Nadia meminta aku untuk duduk di kamar dan nanti setelah urusan di bawah selesai Mbak Nadia akan naik ke kamarku untuk meriasku.

Aku hanya menurut. Duduk di atas tempat tidur dan menyibukan diri dengan menelpon Rara yang tetap bekerja di restorannya meski hari Minggu. Kali ini aku tidak mengatakan apapun kepada Rara maupun Bila, biar nanti kalau aku sudah menerima lamaran itu.

Setelah menelpon Rara dan mengobrol cukup banyak, Rinai menelponku dan dengan suara cemprengnya yang lucu dia bercerita banyak hal. Yang pasti tentang persiapan keluarganya untuk datang ke rumahku.

"Tadi ya Mbak Nimas, kakaknya Rinai itu sibuk banget nyari baju yang pas sampai kamarnya berantakan banget," ceritanya.

"Oh ya?"

Rinai bercerita panjang lebar. Tentang kesibukan ibunya, kesibukan ayahnya dan kesibukan kakaknya. Dia juga mengatakan tante dan kakak laki-lakinya yang sekolah di Bandung akan ikut juga. Dia memintaku untuk menyediakan banyak makanan. Aku tertawa. Anak kecil satu itu emang selalu lucu.

Setelah telepon berakhir, Mbak Nadia datang ke kamarku memaksaku untuk di make-up. Aku diminta memakai gaun panjang berwarna merah marun, tapi aku menolak. Aku memilih memakai gaun sederhana berwarna abu-abu. Dipadukan oleh jilbab yang berwarna sama. Tapi untuk make-up, aku tidak bisa menolak, hanya saja aku meminta Mbak Nimas tidak membuat wajahku menjadi menor saja.

"Lo ternyata cantik juga, Nim," ucap Mas Reza yang sudah berpenampilan rapi.

Aku mengecap bibirku untuk merapikan lipstick. Oh, kenapa aku kembali gugup?

"Keluarga Pak Heru sudah datang," ucap mama yang menandakan aku harus siap-siap.

Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Aku melakukannya berulang kali untuk mengurangi kegugupan. Mama sudah turun ke bawah bersama Mbak Nadia. Sedangkan aku turun dengan menggandeng tangan Mas Reza.

"Gue keliatan nervous banget nggak, Mas?" tanyaku.

Mas Reza mengangguk. "Wajar kali, Nim."

Mas Reza meraih tanganku dan menggandengnya keluar dari kamar. Kami menuruni anak tangga satu per satu dan di bawah keluarga Pak Heru sudah duduk di sofa, termasuk Rinai yang hari ini rambutnya diikat dua. Aku mempererat gandangan tanganku dan membuang pandangan ke sekeliling ruangan dengan terus menenangkan diri.

Aku dan Mas Reza menuju sofa yang masih kosong dan ketika kupandang satu per satu keluarga Pak Heru yang datang, aku tersentak kaget. Begitu juga Mas Reza yang ada di sampingku.

Aku memandang laki-laki berkemaja putih yang duduk di sebelah Pak Heru. Kenapa Genta ada di sini? Aku memandangnya dengan heran, bagaimana bisa Genta....

Aku duduk di sofa yang masih kosong itu dengan wajah kaku.

Pak Heru memandang keluargaku dengan senyuman melekat di wajahnya. Sedangkan Genta yang ada di sebelahnya hanya menunduk. Genta tidak akan melamarku, kan?

Pak Heru memulai acara pagi hari ini dengan mengutarakan maksud kedatangan mereka. "Maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk mewakili Genta untuk melamar putri Pak Surya dan Bu Sarah." Pak Heru memandang Genta. "Genta sebenarnya keponakan saya. Dia putra dari kakak laki-laki saya, tapi sejak dia memutuskan tinggal bersama saya dan keluarga kecil saya, Genta menjadi anak saya."

Ketika Hujan Menyatakan CintaWhere stories live. Discover now