Dua Puluh Sembilan

1K 50 5
                                    

Seperti biasa, setiap kali aku dilanda kegelisahan, aku akan duduk di kursi yang ada di balkon lantai dua dan menatap kenampakan alam yang ada di langit malam. Memandang bintang satu per satu tanpa pernah menghitungnya. Dan sesekali mendesah.

Aku memikirkan lamaran Pak Heru untuk anaknya. Tapi meski sudah menghabiskan waktu hampir 72 jam untuk menimpang keputusan, aku belum juga menemukan jawaban.

Sejak berpisah dari Genta, sudah beberapa laki-laki mencoba mendekatiku, termasuk Kak Yogas tapi sebelum mereka menyatakan cinta aku sudah terlebih dahulu menolak mereka dengan bersikap tidak acuh. Selama kuliah dan setelah lulus pun, lebih dari lima laki-laki mengutarakan maksudnya untuk menjalin hubungan denganku dan ada di antara mereka yang ingin serius dengan menikahiku tapi sekali lagi aku menghindar. Seperti tak ada sisa lagi di hatiku untuk orang lain.

Sampai kapan aku akan terus begini?

"Aku dilamar Pak Heru untuk anaknya," ucapku saat seluruh keluarga berkumpul menjelang makan malam, termasuk Mas Virza dan Mbak Nadia yang sudah di Jakarta selama lima hari. Mereka memandangku dengan mata yang bercahaya. "Tapi aku bingung," tambahku dengan menutup wajah.

"Jadi itu yang buat lo melamun tiga hari ini?" tanya Mas Reza.

Aku tak mengiyakan. Hanya diam. Mama angkat bicara, seperti biasa selalu memberikan petuah untuk anak-anaknya. "Pak Heru ayahnya Rinai kan? Bukannya keluarga beliau keluarga yang baik?" tanya mama.

Kali ini aku membenarkan dengan mengangguk. "Pak Heru baik, Mbak Ratna juga, apalagi Rinai yang lucu itu. Pak Heru juga mengatakan keponakannya seorang dokter dan pastinya siap menjadi suami, tapi aku masih ragu."

Papa mendesah. "Apa lagi yang kamu tunggu, Nim? Kamu mau menjadi perawan tua karena selalu menolak lamaran orang yang baik?"

Aku tertunduk. Ada alasan lain yang membuatku bertahan dalam kesendirian.

"Lo masih menunggu Genta?" tanya Mas Reza yang langsung membuatku mendongkak. Nama itu, membuat seluruh tenagaku luruh. "Sampai kapan, Nim? Dia udah pergi lebih dari delapan tahun lho, bisa aja kan di sana dia udah menikah dan punya anak."

Aku tahu. Tapi hatiku tidak pernah mau tahu.

"Nggak ada salahnya dicoba, Sayang. Toh, jika emang kamu nggak cocok kamu bisa menolak kan?" mama bicara dengan tersenyum tenang.

Aku menggigit bibir.

"Kalo lo nggak segera nikah, mungkin Reza akan segera jadi perjaka tua, Nim. Dia kan nggak akan nikah sebelum lo nikah," ujar Mas Virza.

"Semua pilihan kamu, Nim. Kamu sudah dewasa dan tahu mana yang terbaik buat kamu, tapi jangan sampai pilihan itu membuat kamu menyesal," papa memberikan petuah. "Nggak ada salahnya juga dicoba, toh kalo kamu nggak setuju nggak akan diteruskan, kan?"

Niko yang duduk di sebelahku menggenggam tanganku dengan tersenyum. Kak Nimas pasti bisa.

Aku menarik napas panjang dan membuang pandangan ke bintang yang masih berkalap-kelip di langit yang tampak hitam. Warna hitam pada langit malam menandakan langit sedang cerah. Aku memejamkan mata dan dengan penuh kemantapan aku berlari ke ruang keluarga, kemudian menyambar gagang telepon.

Menghubungi Pak Heru.

"Iya, Mbak Nimas?" suara Pak Heru yang selalu memanggilku dengan tambahan 'Mbak' seperti yang dilakukan Rinai terdengar.

Bismillah. "Saya setuju, Pak. Kapan Bapak akan ke rumah saya?"

"Bagaimana jika hari minggu? Jam 10 pagi," Pak Heru mengusulkan.

"Baik. Kami sekeluarga akan menunggu."

Telepon terputus. Aku meletakan gagang telpon ke tempatnya kembali dan menarik napas panjang. Semoga ini pilihan yang tepat.

***

Ketika Hujan Menyatakan CintaWhere stories live. Discover now