Tujuh

4K 188 3
                                    

Aku membutuhkan waktu satu jam untuk sampai di panti asuhan dengan menggunakan ojek. Mami menyambutku dengan ramah, beliau mengatakan Genta terkena tifus sejak tiga hari yang lalu dan mami membawaku ke kamar Genta. Di atas kasur single dengan seprei motif batman, kulihat Genta sedang terbaring lemah. Matanya tertutup saat aku dan mami masuk, namun karena mendengar suara langkah kaki kami, dia terbangun.

Tebak apa yang dia katakan saat melihatku!

"Ngapain lo di sini?" tanyanya ketus.

Aku mendengus. Sudah ketebak responnya akan seperti itu.

"Genta, nggak boleh begitu. Ada teman yang jenguk kok malah sinis gitu," tegus mami.

Aku memandang mami. "Udah biasa kok, Mami."

Genta terdengar mendesah. Ia memandangku dengan malas. "Dari mana lo tahu kalo gue sakit?" tanyanya.

"Tadi aku ke kelas kamu karena kamu nggak nonton penampilan bandku dan kata anak kelas kamu, kamu sudah dua hari nggak masuk," jawabku.

Mami memeriksa suhu badan Genta dengan memegang keningnya. "Panasnya belum turun. Genta itu susah banget disuruh makan, Nim. Suruh minum obat juga kalo nggak dipaksa nggak akan diminum," kata mami.

"Mungkin dia minta diinfus kali, Mi," sahutku. Kulihat Genta membulatkan matanya.

"Ah, dia juga takut banget sama jarum suntik. Apalagi diinfus bisa pingsan selama diinfus, Nim. Coba kamu bujuk dia supaya mau makan dan minum obat. Kalo nggak makan dan minum obat, bisa-bisa dia sakit selama berbulan-bulan," pinta mami.

Kupandang Genta dengan menggeleng-gelengkan kepala. "Ternyata orang dingin kayak kamu takut sama obat dan jarum ya? Aku kira takutnya cuma sama orang."

Genta mendengus kesal dan memalingkan wajah. "Diem lo!"

Mami mendesah dan menaikan selimut yang menutupi kaki Genta. "Nim, Mami tinggal ke dapur ya! Jangan lupa bujuk Genta buat makan ya!"

"Iya, Mi."

Aku duduk di tepi tempat tidur yang bersebelahan dengan tempat tidur Genta dan kulihat dia tampak terusik dengan kehadiranku. Aku terkekeh melihat ekspresi ketusnya dengan wajah lemas itu. Melihatku tertawa, dia mengangkat wajah.

"Kenapa lo ketawa?" tanyanya.

"Kamu lucu aja kalo lagi sakit gini. Wajah ketus dipadukan dengan wajah pucat dan lemas."

"Terus bagi lo itu lucu?" tanyanya sinis.

"Banget."

Dia kembali mendesah dan menenggelamkan wajahnya di balik bantal. "Mendingan lo pulang aja. Gue butuh istirahat."

"Tadi aku diminta buat bujuk kamu agar mau makan, jadi sebelum kamu mau makan aku akan tetap di sini."

Genta memandangku dengan kesal. "Ya udah terserah lo. Gue mau tidur."

Aku melihat Genta memejamkan matanya. Kuperhatikan ruangan dimana saat ini aku berada. Ada sekitar enam tempat tidur di ruangan ini dan tiga diantaranya tempat tidur susun. Berarti ada sekitar 9 orang yang tidur di sini. Tempat tidur Genta dan tempat tidur yang saat ini kududuki adalah dua dari tiga tempat tidur yang tidak bertingkat.

Aku memandang ke bagian pojok ruangan dan mataku berbinar ketika melihat gitar di sana. Dengan pelan, aku melangkahkan kaki ke sana dan mengambil Gitar, kemudian kembali lagi.

Aku memperhatikan gitar yang kini ada di tanganku dan ada nama 'Andri' di bagian depannya. Aku mencoba memetik senarnya dengan menggunakan kunci G. Mendengar suara gitar tersebut masih bagus, membuatku melanjutkan memetik gitar hingga membentuk sebuah nada. Nada sebuah lagu yang sangat kusukai.

Ketika Hujan Menyatakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang