Dua Puluh Delapan

851 36 10
                                    

Siang ini hujan. Dan bagiku hujan selalu mengingatkanku pada Genta.

Entah bagaimana caranya Genta selalu berhasil masuk melalui celah hatiku dan merebut konsentrasi pikiranku. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar. Delapan tahun itu berapa bulan? Delapan tahun itu berapa hari? Bukan jumlah yang sedikit kan? Jika seorang anak yang lahir delapan tahun lalu, sekarang sudah seumuran dengan Rinai. Tapi kenapa Genta selalu punya tempat di hatiku? Seakan ia selalu abadi.

Aku merapikan meja kerjaku di sekolah dan memasukan telepon genggam model android ke dalam tas cangklongku. Setelah melihat jarum panjang berada di angka dua belas dan jarum pendeknya di angka satu, aku memutuskan untuk pulang.

"Nggak nunggu hujan reda, Bu Nimas?" tanya Bu Winda yang masih mengoreksi tugas anak didiknya.

"Saya sudah janji mau menjemput Rinai di rumah sakit."

"Hari ini Rinai pulang dari rumah sakit?"

"Iya, Bu." Aku mencangklong tas di bahu. "Saya pulang duluan ya, Bu."

Bu Winda mengangguk dan aku menerabas hujan sampai ke mobil Suzuki Swift berwarna merah. Menghidupkan mesinnya dan segera membawanya berlari menuju rumah sakit. Selama tiga hari ini aku sering bolak-balik ke rumah sakit untuk menjenguk Rinai, tapi hari ini Rinai sudah diperbolehkan pulang. Aku juga membawakan buku cerita yang selalu dia sukai. Kali ini berjudul Putri Jagung dan Pangeran Padi. Semoga dia menyukainya.

Aku berjalan di koridor rumah sakit dan mengembangkan senyuman ketika membuka pintu kamar rawat Rinai.

"Assalamualaikum, Rinai!"

Gadis kecil itu langsung loncat duduk saat melihatku datang. "Mbak Nimas." Dia memandang kantong plastic putih yang ada di tangannya. Tanpa perlu menunggu dia bertanya, aku memberikannya kepada Rinai. "Buku cerita lagi?"

Aku mengangguk.

"Bilang apa, Sayang?" Mbak Ratna mengingatkan Rinai dengan tangan sibuk memasukan barang-barang Rinai yang ada di rumah sakit.

"Terima kasih Mbak Nimas yang cantik," ucapnya dengan ceria.

Pak Heru masuk ke kamar rawat Rinai dan mengatakan dia sudah mengurus administrasi perawatan Rinai. Rinai sudah sembuh dan bisa belajar piano lagi di rumah. Rinai jingkrak senang. Pak Heru memandangku dengan senyuman terus melekat di wajahnya.

"Mbak Nimas sudah menikah?" tanyanya tiba-tiba.

Aku mengangkat wajah dan menggeleng pelan.

"Mau menikah dengan anak saya?"

Pertanyaan itu bagai arus listrik yang tiba-tiba menyengat tubuhku. Kupandang Pak Heru dengan mata membulat dan mulut menganga. Aku, aku dilamar Pak Heru untuk anaknya?

Pak Heru tertawa lirih. "Dia seorang dokter lulusan Melbourn University, jika Mbak Nimas setuju nanti kita buat pertemuan dan Mbak Nimas akan bertemu dengan anak saya, jika memang Mbak Nimas cocok bisa dilanjutkan ke pernikahan, jika tidak ya tidak apa-apa."

Aku menelan ludah.

Pak Heru kembali terkekeh. Mungkin wajah tegangku saat ini yang membuatnya lucu. "Ya sudah, Mbak Nimas pikirkan dulu lamaran saya. Nanti jika sudah ada jawaban bisa menghubungi saya atau istri saya, tapi jangan lama-lama."

Mbak Ratna yang ada di depanku ikut tertawa. "Wajah kamu itu persis banget waktu aku dilamar Mas Heru dulu," serunya.

Aku mengangkat wajahku yang masih tegang dan tersenyum kikuk. "Saya akan memikirkannya," jawabku.

Di sampingku Rinai sudah tersenyum dan tangannya merentang untuk memelukku. Aku mendekat padanya dan membiarkan dia memelukku. "Kalo Mbak Nimas nikah sama kakakku berarti Mbak Nimas jadi kakakku juga."

Aku menggigit bibirku. Memikirkan kenyataan yang ada saat ini. Umurku sudah menginjak 24 tahun dan sampai kapan aku akan menunda pernikahan? Apa aku akan terus berharap pada Genta – yang selalu kuimajinasikan dia akan turun dari kuda dan menarik tanganku kemudian membawaku ke pelaminan – ? Di umurku yang hampir seperempat abad ini, bukan saatnya untuk terus berkhayal. Sudah saatnya kembali berpijak di bumi dan melupakan laki-laki itu.

Ketika Hujan Menyatakan CintaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu