Tiga

9.4K 273 57
                                    

Setelah kejadian itu, di rumah, wajah Mas Reza sangat tidak mengenakan. Dia tidak ngomong sama sekali. Aku tahu betul seperti apa sifat Mas Reza, dia orang yang jarang banget emosi jadi sekali emosi bisa berhari-hari dia mendalami perasaan itu. Aku dan Mas Virza tak bisa berbuat apa-apa. Nanti juga sembuh sendiri bad mood Mas Reza itu.

"Gue pikir Mas Reza itu nggak punya musuh, Mas. Ternyata dia punya," ucapku kepada Mas Virza saat kami duduk di balkon rumah.

"Reza nggak pernah musuhin Genta. Genta aja yang aneh. Sejak awal sekolah dia itu selalu menyendiri dan menutup diri dari teman-teman yang lainnya. Terlebih dengan sikapnya yang dingin dan kayak nggak butuh orang lain itu, membuat dia semakin diasingin. Dan sejak mengenal Reza dia benci setengah mati sama Reza. Sebelumnya mereka juga pernah berantem," cerita Virza.

"Emang apa masalahnya?"

"Genta itu nggak pernah mau kerja sama di dalam kelas. Kayak tadi siang, Genta diminta berperan sebagai guru ngaji buat pertunjukan saat pelantikan ketua OSIS tapi dia nggak mau. Kayaknya yang dulu karena Genta nggak mau ikut acara ke pantai padahal kalo ada satu yang nggak ikut nggak akan diizinin sekolah dan gara-gara Genta ngotot nggak ikut, acara itu jadi gagal."

Aku mendesah pelan. Jadi manusia seperti itu beneran ada di dunia ini? Tapi entah kenapa ada rasa penasaran yang tiba-tiba menerobos masuk ke dalam hatiku. Entah dari mana keyakinan itu berasal, aku yakin sebenarnya Genta itu orang yang baik. Ia punya alasan kenapa dia melakukan semua itu. Dan entah kenapa aku penasaran dengan alasan itu.

Tanpa kuduga, keesokan harinya aku melihat dia lewat di depanku. Iya, Genta. Siang itu aku diminta mama untuk beli sayuran dan ikan di pasar. Karena kebetulan hari minggu dan aku belum ada PR yang membebani, nggak ada alasan buat nolak permintaan mama. Aku memakai motor matic menuju pasar, namun saat akan pulang, hujan turun dengan mendadak.

Saat itulah aku melihat dia.

Saat itu aku memilih berteduh di depan kios paling dekat denganku, karena jika memaksa pulang menerabas hujan bisa basah kuyup sampai rumah. Aku memandang butiran air yang jatuh dari langit dengan sebal. Ini yang membuatku membenci hujan. Hujan selalu mengganggu aktivitas. Aku memandang lurus ke depan dan di sanalah aku melihatnya. Dia bersama dua anak kecil dengan membawa kantong plastic bewarna putih. Dan yang membuatku tertegun – bahkan melupakan kekesalanku pada hujan – adalah dia dan dua anak kecil itu sedang menadahkan tangan menyentuh tetesan hujan dari tempat mereka berteduh. Mereka tampak begitu bahagia dan aku melihat dia tersenyum.

Ternyata dia bisa tersenyum.

"Mbak, hujan udah reda!" seorang bapak menyadarkanku dan kudongkakan kepala. Iya, hujan sudah reda.

Aku kembali memandang dimana Genta dan dua anak kecil itu berada tapi mereka sudah beranjak. Aku langsung bergerak untuk mengikuti mereka, tapi kemudian tersadar bahwa aku tidak memiliki alasan untuk itu.

Aku mendekati motor dan segera pulang. Aku melempar jauh-jauh rasa penasaranku terhadap Genta. Lebih baik aku segera pulang dan semoga bad mood Mas Reza udah hilang.

***

"Mas Reza!" aku melongok ke kelas 12 IPA2 mencari Mas Reza dan dari bangkunya yang ada di deretan ke dua, dia memandangku. Di bekalangku, Rara membuntut dengan memegang tanganku. Katanya dia grogi.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Mas Reza.

Aku menyeringai. "Tadi kan duit buat jajan gue dikasih ke elo, Mas," jawabku.

"Ya kesini. Nggak liat apa gue lagi sibuk pake BGT," pintanya. Kulihat dia masih meraut dua pensil yang baru saja dia keluarkan dari dalam tas. Itu yang dia sebut sibuk pakai banget?

Ketika Hujan Menyatakan CintaOnde as histórias ganham vida. Descobre agora