Satu

15.7K 321 9
                                    

"Nggak bakal gue sekolah di sekolahan lo itu, Mas."

Aku mendengus sebal mendengar mulut Mas Reza, kakak laki-lakiku nggak henti-hentinya mengucapkan kalimat itu dengan nada suara dibuat-buat seperti perempuan. Lebih tepatnya dibuat-buat agar seperti suaraku. Itu adalah kalimat yang aku lontarkan kepadanya, kalimat yang kini jadi senjata ampuh dia untuk mengejekku.

"Apa coba bangganya jadi siswa di sekolah lo itu? Meski lo jadi ketua OSIS, bagi gue di sekolah lo itu jadi ketua OSIS nggak ada bedanya sama jadi tukang sapu, hahaha. Bagusan SMA Garuda, prestasi di bidang musik banyak banget. Bahkan Rere, pemenang Indonesian Idol itu dari SMA Garuda."

Kali ini aku melototinya. Entah sudah berapa puluh kali aku mendengar dia mengulang kalimat itu sejak aku gagal masuk SMA Garuda dan akhirnya masuk ke SMA Milenial, SMA yang paling dia banggakan. Bahkan kayaknya dua kalimatku dua bulan lalu itu lebih dia hapal daripada Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Melihatku melotot dia malah tersenyum puas, dengan menjulurkan lidah.

"Makanya jadi orang itu jangan sombong, belum juga keterima tapi udah jelek-jelekin SMA gue, nah sekarang lo malah masuk SMA Milenial. Rasain!" katanya dengan tertawa penuh kemenangan.

Aku hanya bisa mendengus. Kali ini kuakui aku kalah, salahku sudah menjelek-jelekan SMA Milenial padahal belum tentu aku masuk SMA Garuda Jadi untuk kali ini, kubiarkan Mas Reza menikmati kemenangannya.

"Nimas, Nimas, lo itu nggak pernah mengukur volume otak lo, otak lo yang pas-pasan mana bisa masuk SMA Garuda," ucapnya lagi.

Kulempar roti tawar yang baru kuolesi selai cokelat dan tepat mengenai wajah Mas Reza. Dia menyeringai dan melototiku.

"Gue heran sama lo Mas, mulut lo itu bawelnya melebihi cewek satu kelas gue ditambah Rara. Lain kali kalo ada lomba kebawelan lo harus ikut deh, Mas," kataku.

Dia masih melotot dan melempar balik roti yang tadi kulempar ke wajahku.

"Pasti bertengkar lagi," dari tangga Mas Virza, kembaran Mas Reza tampak berjalan mendekati meja tempat kami berada. Jaket abu-abunya ia selempangkan di bahu. "Kalian berdua itu nggak pernah bosen ya ribut tiap pagi." Mas Virza duduk di sebelah Mas Reza dan mengambil roti beserta selai kacang.

"Biarin aja, Vir, radio gratis," sahut papa dengan santai.

"Radio rusak mah iya, Pa," balas Mama.

Dengan tangan mengoleskan selai ke roti, Mas Virza memandangku. "Ciehh, Nimas udah jadi anak SMA."

Aku tersenyum tipis. Kulihat Mas Reza akan menyahut, namun langsung kupelototi. Kali ini berhasil membuat dia diam.

"Kalian berdua harus menjaga Nimas," ucap mama kepada Mas Virza dan Mas Reza. "Buat Nimas, hati-hati sama cowok. Masa depan kamu masih panjang, jangan sampai kamu kehilangan masa depan karena cowok. Cowok sekarang itu banyak yang nggak bener...."

"Kayak Mas Reza," sahutku.

"Enak aja," yang disebut namanya berseru tidak terima.

Mama mendesah. "Buat Virza dan Reza juga, kalian jangan main-main sama cewek. Selalu ingat apa kata mama, perempuan adalah makhluk terindah dan harus kalian lindungi. Jatuh cinta itu hal wajar, tapi nggak boleh pacaran..."

"Alah, Mas Virza juga udah punya pacar. Namanya Mbak Nadia, sekarang udah kuliah," aku kembali menyahut.

"Iya, Virza udah pacaran itu, Ma," sambung Mas Reza.

Mas Virza yang dari tadi tampak tenang, kali ini wajahnya memerah. Entah karena marah atau malu, yang pasti dia memandang kesal ke arahku dan Mas Reza secara bergantian.

Ketika Hujan Menyatakan CintaWhere stories live. Discover now