Dua Puluh Tujuh

1.7K 97 31
                                    

Aku membuka mataku perlahan dan mengucek mataku dengan pelan. Ketika mataku terbuka sepenuhnya, aku melihat Rinai sudah terbangun dan menggenggam tanganku. Begitu melihatku terbangun, dia tersenyum.

"Bagaimana keadaan Rinai?" tanyaku.

Senyuman terus mengembang di wajahnya. "Lebih baik, Mbak."

Aku memeriksa jam di pergelangan tanganku, sudah pukul 05.50. Aku tertidur semalaman di sini karena semalam aku diminta Mbak Ratna untuk menjaga Rinai karena ayahnya Rinai yang dari Malaysia baru sampai bandara, sedangkan kakaknya Rinai sedang banyak pasien di rumah sakitnya.

Aku kembali memandang Rinai dan membelai rambutnya. "Masih pagi kamu kok sudah bangun, Sayang?"

"Tadi perut Rinai sakit," jawabnya. "Oh ya, tadi kakak Rinai juga tidur di sini, gantian menjaga Rinai."

Aku membulatkan mata. "Oh ya? Kok Mbak Nimas nggak tau sih?"

"Mbak Nimas kayaknya kecapean jadi tidurnya pulas banget."

Iya juga. Tak selang beberapa menit, Mbak Ratna datang dengan membawa pakaian Rinai dan di belakangnya ayahnya Rinai menyusul dengan membawa boneka beruang berwarna pink yang sangat besar. Ayah Rinai memeluk putrinya dan memberikan boneka itu.

"Kemarin Rinai baru dapat boneka kanguru dari kakak lho, Yah."

"Oh ya?" sahut laki-laki itu dengan tersenyum. Kemudian dia memandangku yang sudah berdiri di samping ranjang Rinai. "Ini pasti Mbak Nimas yang sering diceritakan Rinai," ucapnya dengan tersenyum padaku.

Aku membalas dengan tersenyum. "Iya, saya Nimas, Pak," aku memperkenalkan diri dengan menjabat tangan ayah Rinai.

"Saya Heru, ayahnya Rinai." Pak Heru memandang Rinai. "Terima kasih sudah menjaga Rinai dan mengajarinya bermain piano."

"Sama-sama, Pak. Saya juga senang mengajari Rinai, dia anak yang baik dan menurut, pintar lagi."

Yang dikatain senyum-senyum bangga. Aku memeriksa jam kembali, kemudian pamit karena aku ada jam di sekolah. Sebelum pergi kukecup kening Rinai dan menyemangatinya untuk cepat sembuh. Aku bergegas ke mobil yang ada di tempat parkir rumah sakit dan segera memacunya kembali ke rumah. Dengan cemas, aku memandangi jam tangan. Jakarta pasti macet dan bisa-bisa aku telat berangkat ke sekolah.

Sampai di pertigaan, dugaanku benar. Puluhan mobil merayap di jalan yang sama. Aku mendesah dan untuk merilekskan pikiran, kupandang ke luar kaca mobil. Memperhatikan penduduk Jakarta yang mungkin sama sebalnya denganku karena kemacetan ini dan tak sengaja mataku menangkap dia di mobil yang berlawanan arah dengan mobilku. Aku mengucek mataku berulang kali, siapa tahu aku salah lihat orang namun apa yang kulihat di depanku benar-benar nyata. Bersama dengan gadis berambut panjang itu, dia melewati mobilku yang masih terjebak macet.

Genta. Rasanya aku ingin berteriak memanggilnya, namun mulutku membeku. Dia sedang tertawa bersama gadis yang ada di samping. Ya Tuhan! Kenapa masih ada rasa sakit yang menyusup ke dadaku?

Bunyi klakson yang nyaring tertuju pada mobilku yang masih berhenti. Aku langsung menancap gas lagi dan mencoba melupakan apa yang baru saja kulihat. Aku menarik napas panjang, syukurlah dia baik-baik saja. Bukankah itu yang harus kupikirkan? Bersama gadis lain atau tidak, yang terpenting dia baik-baik saja.

Ketika Hujan Menyatakan CintaWhere stories live. Discover now