Sembilan

3.7K 169 2
                                    

"Jadi mereka temen-temen lo?" tiba-tiba saja Genta ada di sampingku. Dia berdiri bersandar di tembok dan wajahnya ia naikan dengan mata memandangku.

Aku terperanjat. Jantung berdetak dengan tidak karuan dan saat kucoba memandangnya, tubuhku tiba-tiba terasa kaku.

"Lo yakin mereka temenan sama lo bener-bener tulus?" tanyanya dengan wajahnya yang sinis itu.

"Kamu kok ngomongnya gitu sih?" tanyaku tidak suka.

"Yah," gumamnya. "Lo lihat mereka!" Genta menunjuk dua cewek yang sedang berjalan sambil berbisik-bisik. "Lo yakin nggak kalo mereka berteman karena emang tulus?"

Aku memperhatikan mereka dan berpikir sejenak. Dua cewek itu tampak sedang membicarakan sesuatu yang asyik. Cewek yang memakai jilbab meresponnya dengan tersenyum saat cewek yang berambut panjang bicara. Ya, seperti yang sering kulakukan bersama Bila dan Rara.

"Lo ragu kan?"

Aku menggeleng. Kutatap matanya yang tajam itu. "Tujuan aku berteman dengan mereka bukan untuk mengharapkan ketulusan mereka, bagiku yang terpenting aku sudah tulus pada mereka. Jika mereka tulus ya Alhamdulillah, kalo nggak ya nggak apa-apa."

Dia terdiam mendengar jawabanku. Mungkin dia sedang memikirkan jawaban dariku yang jauh berbeda dengan persepsinya selama ini tentang pertemanan.

Sesaat kemudian dia memandang langit yang diselimuti awan kelabu. "Sepertinya sebentar lagi akan hujan," gumamnya.

Aku ikut mendongkakan kepala. Iya, hujan sepertinya akan segera turun. Hujan yang menyebalkan. Namun saat aku melihat Genta, aku menemukan ekspresi yang jauh berbeda dari wajahku. Dia tampak bahagia memandang langit yang gelap itu.

"Bagi gue hidup ini sangat tidak adil, gue harus mengalami hal-hal menyedihkan di saat anak-anak seumuran gue hidup dengan bahagia," ucapnya dengan menatap langit yang mulai menurunkan gerimis. "Tapi semua berubah saat gue merasakan tetesan hujan yang jatuh dari langit. Banyak hal yang ternyata nggak gue tahu tentang kehidupan ini. Tentang rancangan alur kehidupan dari Tuhan dan juga tentang kasih sayang Tuhan yang begitu dalam,"

Genta menyentuh gerimis yang menurunkan percikan kecil air dari langit. "Bagi gue hujan adalah bentuk salam rindu dari Tuhan dan nggak ada alasan buat gue untuk mengutuk kehidupan ini saat bisa merasakan setiap rasa yang Tuhan turunkan bersama hujan. Rasa bahagia, rasa takut, ketenangan, rasa rindu dan juga rasa cinta."

Aku termenung mendegar ucapan Genta. Kucermati setiap kata yang diucapkan Genta. Kenapa aku tidak pernah merasakannya?

"Coba lo sentuh hujan dan rasakan setiap rasa yang hadir bersamanya," Genta memandangku dan memintaku mendahkan tangan seperti yang ia lakukan.

Dengan ragu aku melakukannya. Aku juga ikut memejamkan mata seperti yang dia lakukan. Namun tiba-tiba ponselku bergetar dan menghancurkan ketenangan yang mulai kurasakan.

"Iya, Mas," ucapku setelah mendengar suara Mas Reza.

"Lo kemana aja sih? Gue sama Virza nyari lo kemana-mana," ucapnya dari telepon.

"Sorry, gue terjebak gerimis. Iya, gue segera ke tempat parkir."

Aku memasukan ponsel kembali dan tersenyum pada Genta. "Aku harus pulang."

Dia mengangguk. Aku berjalan meninggalkan Genta yang masih mematung di sana, namun setelah lima langkah aku membalikan badan.

"Terima kasih sudah memperkenalkanku dengan hujan," ucapku.

Dia mengangkat alisnya, lalu tersenyum. Aku berlari melewati koridor kelas 12 agar cepat sampai parkir. Semakin lama semakin banyak pula celoteh yang harus aku denger dari Mas Reza.

"Cepat masuk!" ucapnya setengah berteriak. "Dicariin kemana-mana."

Aku nyengir polos.

Aku duduk di jok belakang dan memandang rintik hujan yang bisa kunikmati dari balik kaca mobil. Buliran bening yang jatuh itu semakin lama semakin deras dan dari tetesannya yang jatuh di atas mobil, aku bisa mendengar irama yang sangat indah. Sebuah alunan nada yang diciptakan oleh alat musik karya Tuhan. Aku memejamkan mata dan tersenyum lebar.

"Ngaipain lo senyum-senyum sendiri, Nim?" tanya Mas Reza yang diikuti tatapan Mas Virza dari cermin yang ada di atasnya.

Aku membuka mataku dan tersenyum. "Hujan sangat indah ya Mas?"

Mereka saling pandang lalu kembali melihat ke belakang. Ke arahku. "Sejak kapan lo suka hujan?"

***

Ketika Hujan Menyatakan CintaWhere stories live. Discover now