Dua Puluh Satu

2.8K 157 4
                                    

Hujan jatuh dari langit yang mendadak berubah dari biru menjadi abu-abu. Aku menatap hujan dari balik jendela kelasku. Aku kehilangan Genta. Genta pindah ke sekolah bahkan tanpa mengatakan apa-apa padaku. Dia hanya memberiku payung pada hari terakhir UAS. Kata-kata terakhirnya saat itu mendengung di telingaku. Aku bahkan tidak tahu itu kalimat terakhirnya sebelum pergi.

Hujan tak memberikan tanda-tanda akan segera berhenti. Hujan datang tepat di hari aku kehilangan Genta.

Kupikir aku telah benar memilih Mas Reza dibandingkan Genta. Kupikir aku lebih takut kehilangan Mas Reza, tapi ternyata kehilangan Genta sangat menyesakan.

Hujan tidak juga berhenti. Bahkan setelah bel tanda berakhirnya sekolah dibunyikan. Aku mengingat payung yang diberikan Genta yang selalu kubawa di dalam tas. Sejak menerimanya dari Genta aku tidak pernah mengeluarkannya dan aku tidak menyangka aku akan menggunakannya di hari Genta tidak ada di sekolah ini.

Aku berjalan meninggalkan kelas dengan berlindung di bawah payung. Sedang siswa-siswi yang lain kulihat berlarian menghindari hujan, sedangkan yang lainnya memilih menunggu.

"Kita bareng ke mobil ya, Nim," aku bertemu Mas Reza saat sampai di depan mading.

Aku menggelengkan kepala. "Gue nggak bisa pulang bareng lo dan Mas Virza."

Mas Virza yang baru saja menerobos hujan berhenti di depanku dan Mas Reza. "Lo kemana?" tanyanya.

"Gue mau ke panti asuhan Genta," jawabku.

Aku melihat Mas Reza diam. Dia yang tadi memintaku bareng bersamanya menuju mobil, kini tampak tidak menginginkannya. Mas Virza memandang Mas Reza sebentar, kemudian beralih memandangku. "Gue antar ke sana ya!" ucapnya.

"Mas Reza kayaknya nggak mau," sahutku.

Mas Reza masih diam. Dia bahkan tidak berani memandangku atau menatapku. Dia masih terdiam, bahkan saat aku mulai melangkahkan kaki meninggalkan dia yang masih mematung, namun Mas Virza menarikku. "Gue anter lo," ucapnya sekali lagi. "Reza juga harus ikut!"

Akhirnya aku menurut. Mas Reza juga. Kami meninggalkan sekolah di tengah hujan dengan mobil menuju panti asuhan tempat tinggal Genta selama ini yang berjarak tidak jauh dari sekolah. Di sepanjang perjalanan kami terdiam. Tidak ada suara apapun saat itu, hanya rintik hujan yang menetes di atas mobil yang menambah semua terasa semakin pilu.

Aku keluar dari mobil setelah kami sampai di panti. Aku membuka payung dan membuka gerbang panti. Seorang anak melihat kedatanganku dan masuk ke dalam, saat kembali dia sudah bersama mami. Aku mencium tangan mami dan langsung menanyakan Genta.

"Genta kehilangan beasiswa dan dia menerima permintaan keluarganya untuk pindah ke Makassar," jawab mami.

Mas Reza dan Mas Virza masuk dan mencium tangan mami. Aku menggigit bibirku menyadari Genta sudah benar-benar meninggalkan kami.

"Dia akan kembali lagi kan Mi?" tanyaku penuh harap, namun yang kudapati adalah gelengan kepala mami.

"Genta tidak bisa menjanjikan akan kembali untuk beberapa tahun ke depan. Tapi dia mengatakan akan ke sini jika mengunjungi Jakarta," jawab mami yang membuat harapanku runtuh seketika. Bagaimana aku harus melalui hari-hari tanpa Genta. "Oh ya dia menitipkan sesuatu untuk Nimas dan kakaknya Nimas," ucap mami kemudian meninggalkan kami. Saat kembali, mami membawa kotak seukuran kota sepatu dan diberikan kepada kami.

"Bukalah," kata mami.

Aku memandang Mas Reza dan setelah mendapatkan persetuannya, aku membuka kotak tersebut. Aku menemukan foto Genta dan Mas Reza yang dia upload di Instagram. Aku juga menemukan fotoku yang sempat diambil saat aku mendatangi panti asuhan.

Kemudian ada benda-benda kecil yang langsung menarik perhatian Mas Reza. Dia mendekat dan mengambil benda-benda itu. "Ini mainan gue sama Tata dulu," ucapnya.

Aku menarik napas panjang dan menutup wajah dengan kedua tanganku, berusaha agar tidak ada air mata untuk saat ini.

"Nimas baik-baik saja?" tanya Mami khawatir.

Aku mengangguk. Aku memasukan foto itu ke dalam kotak, kemudian pamit untuk pulang kepada Mami.

"Beneran kamu baik-baik saja?" tanya Mami semakin khawatir. Aku tetap menganggukan kepala. "Tunggu, Mami hampir lupa," ucap Mami dengan berjalan ke kamar dan tak lama kemudian kembali dengan membawa sepucuk surat. "Ini ada surat dari Genta, katanya yang ini khusus buat Nimas," lanjut Mami.

Akumenerima surat itu. Amplopnya berwarna biru. Aku memandang Mami dengantersenyum tipis. "Nimas dan Mas Reza pamit pulang ya, Mi. Nanti Nimas akan sering main ke sini.Terima kasih sudah memberikan ini ke Nimas!" aku mencium tangan Mami danberjalan ke pintu. "Assalamualaikum."Aku sempat menyapa anak-anak panti sebentar sebelum akhirnya berpamitan. Mereka mengatakan mereka kehilangan Genta dan ingin aku sering main ke panti.


Aku meninggalkan panti asuhan dengan mata memerah. Aku masuk ke mobil dan saat itu tangisanku pecah. Aku menatap motak pemberian dari Genta yang kuletakan di atas pangkuanku. Di sampingnya juga kuletakan payung pemberian Genta yang masih basah. Saat itu aku tidak bisa menahan air mataku.

Tidak ada yang menanyakan keadaanku, baik Mas Reza ataupun Mas Virza. Kami melalui perjalanan sekali lagi dengan diam. Aku hanya menatap hujan dari kaca mobil dan di saat bersamaan hujan juga tengah jatuh di pipiku. Kami sampai rumah dan saat bertemu dengan mama di ruang keluarga, aku langsung memelukku.

"Genta pergi, Ma! Genta pindah sekolah, Ma! Aku nggak bisa ketemu lagi dengannya, Ma. Aku harus gimana, Ma?" saat itu mama mempererat pelukannya. Aku menangis sejadi-jadinya di sana sampai sesegukan. "Dia pergi, Ma. Dia pergi, bahkan sebelum aku mengatakan bahwa aku mencintai dia, Ma," ucapku di tengah sesegukan. Ya, seandainya aku sudah mengatakan sejujurnya tentang perasaanku pada Genta, aku tidak akan sekehilangan ini. Seandainya dia tahu. Seandainya aku menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.

Mas Reza yang juga berada di dekatku mendekat dan menarikku. Dia menatapku begitu aku ada di hadapannya. "Jadi lo jatuh cinta sama Genta?" tanyanya.

Aku memandang Mas Reza dengan perasaan bersalah. Selamanya aku tidak mungkin memendam perasaanku sendiri. Aku juga tidak mungkin selamanya menyembunyikannya dari Mas Reza. Jadi kukatakan padanya apa yang sebenarnya kurasakan, apapun risikonya. "Aku cinta sama Genta, Mas. Tapi aku nggak mau kehilangan Mas Reza, tapi ternyata kehilangan Genta tidak semudah yang kukira," ucapku.

Aku tidak menemukan kemarahan di sana. Sesuatu yang kutakutkan tidak ada di mata Mas Reza. Mungkin ini terjadi karena keadaan yang berbeda. Mas Reza memandangku cukup lama. Matanya berkaca-kaca dan perlahan dia menarikku ke pelukannya. "Maafkan Mas Reza," ucapnya.

Aku memeluk Mas Reza dengan erat dan membiarkan kami menuntaskan perasaan kami masing-masing. Aku dengan rasa kehilanganku ke Genta. Mas Reza dengan perasaan bersalahnya pada Genta.


~~ selamat membacaaaaaa

Ketika Hujan Menyatakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang