Dua Puluh Tiga

3.2K 172 20
                                    

Sejak kepergian Genta, rasanya waktu berjalan sangat cepat. Tahun pertama aku lalui dengan menghabiskan waktu di sekolah. Aku aktif di ekskul seni musik dan aku sempat menjadi vokalis dan pianis utama ekskul selama 2 bulan, sebelum aku akhirnya pindah ke devisi wong writer. Jangan tanya kenapa aku tiba-tiba tertarik dengan menulis lagu karena aku juga tidak tahu jawabannya secara pasti. Mungkin aku hanya ingin mencoba hal-hal baru di hidupku.

Mas Reza dan Mas Virza juga sudah lulus. Setelah lulus Mas Reza melanjutkan akedemi kepolisian di Malang dan Mas Virza kuliah di Bandung mengambil jurusan Teknik Sipil. Mereka meninggalkan rumah dan hanya pulang setengah tahun sekali.

Aku lulus SMA dan melanjutkan kuliah di Jakarta. Aku tidak mungkin ikut merantau ke luar kota seperti kedua kakakku, jadi aku memilih melanjutkan kuliah di Jakarta dan tetap tinggal bersama orang tuaku. Karena kelulusan ini, aku berpisah dengan Rara dan Bila. Bila melanjutkan kuliah di Surbaya, satu kampus dengan Kak Yogas. Sedangkan Rara tidak melanjutkan kuliah dan bekerja di restoran keluarganya yang ada di Bandung. Aku beberapa kali mengunjunginya saat mengantar Mas Virza ke kosannya.

Ada banyak hal yang berubah di hidupku. Salah satunya adalah saat ini aku mengenakan hijab. Aku memakai hijab setelah memasuki masa kuliah. Awalnya karena coba-coba namun sekarang aku sangat nyaman dengan hijab yang kukenakan.

Aku mengambil jurusan Seni Musik saat kuliah dan semua berjalan dengan lancar. Aku memiliki teman-teman baru dan sempat bergabung di grup musik kampus yang mengantarkanku ikut lomba di beberapa kota di Indonesia.

Aku lama tidak berpacaran setelah itu. Aku memilih menyibukan diri dengan kegiatan yang ada di kampus. Ikut beberapa UKM dan juga mengikuti acara-acara yang ada di kampus. Salah satu acaranya adalah pertunjukan musik di kafe-kafe yang ada di Jakarta. Aku beberapa kali menyanyi di sana sembarari memainkan piano. Itu aku lakukan selama satu tahun sampai akhirnya aku memilih fokus untuk menyusun skripsi.

Aku lulus lebih cepat dibandingkan teman-teman di angkatanku. Bahkan aku lebih cepat dibandingkan Mas Virza yang dua tahun di atasku. Kelulusanku bersamaan dengan pengumuman pindah tugas Mas Reza dari Malang ke Kalimantan. Aku akan semakin berjauhan dengan Mas Reza. Dua bulan setelah aku lulus Mas Virza lulus tapi dia memutuskan untuk tetap tinggal di Bandung dan mencari kerja di sana. Jadi, setelah bertahun-tahun aku tetap sendirian di rumah tanpa kedua kakakku.

Dan setelah satu tahun lulus, di sinilah aku saat ini. Di sebuah ruangan dengan beberapa buku catatan di atas meja dan sebuah laptop yang masih menyala. Dari layar laptop tampak barisan note lagu. Saat ini umurku baru saja menginjak 23 tahun. Kupikir aku akan mudah mencari pekerjaan berbekal pengalaman-pengalamanku selama kuliah, namun dugaanku salah. Selama satu tahun aku pontang-panting mencari pekerjaan. Aku beberapa kali mendaftar di studio musik namun tidak pernah ada yang memanggilku. Sampai akhirnya aku bermuara di sini. Menjadi guru musik.

Ternyata menjadi guru tidak seperti yang kubayangkan. Aku harus menghadapi puluhan siswa dengan berbagai karakter dan tak jarang mereka membuatku emosi, tapi bagaimanapun, aku menikmatinya.

"Tara, pegang gitarnya bukan seperti itu!" ucapku dengan membenarkan posisi gitar yang dipegang oleh Tara.

Tara mendesah. Ini sudah kelima kalinya aku menyalahkan cara dia memegang gitar. "Ternyata main gitar itu susah ya, Bu."

"Iya, makanya harus belajar dengan tekun kalo ingin bisa."

Di saat aku sedang mengajari Tara, Danang dan Putra yang ada di bangku paling belakang membuat keributan dengan saling melemparkan kertas. Mereka tertawa dan membuat siswa lainnya menoleh ke arah mereka.

"Kalian jangan membuat keributan, nanti giliran kalian yang maju kalian nggak bisa," ucapku yang berhasil membuat kedua anak itu langsung diam.

Nah satu lagi, di sekolah ini aku terkenal dengan kedisiplinanku. Banyak anak didikku yang dekat denganku dan tidak sedikit juga yang takut tapi sering membicarakan aku di belakang. Tapi bukankah risiko menjadi guru memang seperti itu? Aku sendiri tidak pernah mengambil pusing dengan yang mereka lakukan. Bagiku mereka tetap anak-anak, sama sepertiku saat SMA dulu.

Ketika Hujan Menyatakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang