; cornelia street [taekook]

689 65 5
                                    

;


"Mabuk? Butuh air?"

Aku tidak paham dengan sebegitunya kau mengubahku. Waktu itu, aku hanya meminum tiga perempat dari botol yang kupilih berdasarkan horoskop. Meminumnya dengan tenang dan menjadikanku mabuk tanpa alasan hanya karena berada di sebuah kota yang beraroma tidak familier. Tanganmu mengusap pelan pipiku karena merasakan kaku dan dinginnya angin musim gugur. Suaramu yang begitu berat menjadikanku sunyi hanya karena jalanan saat itu tidak begitu sepi dan kau memapahku menuju taksi.


"Kau juga berbau Sherry, tahu? Kau tidak menyadarinya?"

"Kau cukup pintar untuk menjadi seorang pemabuk."

"Kumaafkan mulutmu kali ini."


Kita tertawa dan saling melempar pandangan ke jendela masing-masing. Mentitipkan rindu pada beberapa tetes embun dari dedaunan milik rumah-rumah beratapkan salju. Saat itu, kau tidak menyadari bahwa aku membacamu lewat begitu banyak senyum dan begitu sedikit kerling.


"Kautahu? Sedikit banyak, jalan ini tidak akan begitu berarti. Itu hanya jalan, hanya sesuatu yang kaupijak. Ketahuilah, Langit—ah ya, begitukah namamu? Baiklah, ketahuilah itu. Apa pun yang terjadi padamu hari ini, hanya perlu kaulewati dan kaupijak sebegitu subtilnya."


Aku selalu berharap waktu akan berhenti. Ketika tanganmu membuka jendela taksinya dan mengambil sedikit salju yang jatuh. Ketika kulihat senyummu yang sedikit memperlihatkan gigimu itu mengembang hanya karena salju turun. Aku bercanda padamu bahwa salju turun di tiap musimnya. Kebahagiaan yang tidak perlu bukanlah kebahagiaan.


"Suatu saat kalau kau melihat salju, kaubisa mengingatku."


Kuteriakkan namamu di dalam hati dengan lantang sebab jalan ini meneriakkan namamu dengan jauh lebih keras. Tak kuhiraukan degup dari jantung dan ketukan sepatuku ketika menapaki trotoar. Aku mencium baumu di sini. Aku mencium aroma dari senyum yang tak kauperlihatkan gigimu itu. Aku hanya berharap untuk tidak kehilanganmu dan menjalani kehidupan kita di jalanan yang lain—di sebuah rumah di jalanan yang bukan Cornelia sebab terlalu banyak salju dan memori di sana.


"Apa aku bisa memulainya?"

"Silakan."


Jungkook mengangguk dengan anggun dan tersenyum lebar. Ketukan di hatinya tidak berhenti meski dirinya sudah berkali-kali bernyanyi di depan banyak orang. Ketukan bernada pelan yang menjadikannya tenang tanpa memerlukan ekstasi dan beribu malam kegelapan—karena di depan sana, terdapat seseorang yang menatapnya di balik topi hitam.

Kedua tangan Jungkook memegang mikrofon yang kemudian berdengung sedikit. Ia berdeham dan mengusap ujung hidungnya. "Hai, namaku Jeon Jungkook dan aku adalah seorang musisi."


Suara riuh terdengar sebagai sambutan kedatangan. Orang-orang yang berada di bawah langit dan menantikan hujan ini adalah orang-orang biasa yang tidak pernah menaruh ekspektasi atau apa pun. Orang-orang ini hanyalah orang-orang biasa yang berjumlah tiga puluh dan mereka hanyalah sebuah kohesi bertemankan kawan untuknya—setelah beberapa bulan dirinya menghilang dan tak memedulikan dunia.


"Namaku Jeon Jungkook dan aku adalah seorang musisi. Mungkin, saat kalian melihatku sekarang—atau mungkin ada dari kalian yang tidak mengingatku—kalian mengetahui jika aku bukan hanya seorang musisi. Akulah orang yang disebut dunia sebagai pembohong di tahun lalu, dengan semua drama dan kemuakannya yang tak pernah terbayangkan." Jungkook tersenyum kecil, memegang gitarnya dan sedikit mengeluh sebab tangannya berkeringat. Ah, gitar hitam ini. Siapa pula yang hendak mengatakan padanya jika gitar sekecil ini sanggup membuatnya bertahan?


Seisi ruangan menatapnya dengan senyum yang takpernah dibayangkannya. Seperti kata pria itu, "Akan selalu ada orang yang membencimu, Jungkook. Begitu pula dengan orang yang menyukaimu. Kita hanya harus berdamai dengan itu karena Tuhan menciptakan kita untuk selalu mengeluh. Aku tidak memandangmu sebagai seseorang yang sempurna, meski kenyataannya kau demikian. Katakanlah pada mereka yang mencintaimu bahwa kau apa adanya. Bahwa kau menantikan hari di mana mereka hanya diam mendengarkan gitarmu, seperti dulu."


"Aku—aku pernah menarik diriku selama ini hanya untuk menjadikanku 'normal' kembali, jika kalian paham maksudku." Beberapa orang hanya tertawa dan separuhnya lagi mengukir senyum tulus. Jungkook meneruskan dengan sedikit getar di tenggorokan. "Saat itu, dunia seolah meneriakiku atas apa yang mereka namakan sebagai 'standar' dan aku tidak bisa melakukan apa pun. Kenapa? Sebab aku hanyalah satu, sebab aku hanyalah seseorang dengan suara yang kujadikan kebahagiaan dan sekarang orang-orang itu mengambilnya tanpa berucap maaf atau menoleh.

"Aku tidak pernah merasa semengerikan itu ketika melihat cerminan diriku sendiri." Kedua kaki Jungkook menyilang, merasakan sedikit kenyamanan dan dia masih terus memandangi seseorang dengan topi hitam serta berkaus putih. Kedua pipinya memerah dan dirinya nyaris tertawa, meneriaki kebodohan yang dilakukannya—dengan teater atau narasi khas anak kecil ini. "Namun, di saat tergelapku, aku juga menemukan cahayaku.

"Untukmu, aku tidak perlu ketika dirimu harus berada di sampingku di masa-masa terburukku. Aku sangat tidak memerlukannya karena yang ingin kulakukan hanyalah sendiri. Namun, aku tidak ingin ditinggalkan. Saat itu, di musim hujan dan di malam ketiga belas dengan purnama di pertengahan bulan, kau hanya duduk terdiam di balik pintu rumahku tanpa perkataan apa pun. Aku menyadarinya." Jungkook terkekeh kecil. "Kau begitu bodoh.

"Semua itu terasa memuakkan dan aku tidak ingin kau melihatku dengan tatapan ibamu. Kautahu? Ketika kau meninggalkan jaketmu yang terlalu hangat untuk musim hujan, aku hanya terdiam dan menangis pelan-pelan. Astaga, bagaimana mungkin kau memahami maksudku?" air matanya mengalir dan Jungkook nyaris terisak. "Taehyung, bagaimana mungkin kau memahami maksudku saat itu? Aku—aku memang selalu membutuhkanmu.

"Saat itu, aku tidak membutuhkan beribu kata untuk melawan dunia karena kau selalu ada di sana, Taehyung. Aku menawarkanmu untuk pergi dan kau menolaknya. Sebaliknya, di saat aku bertanya padamu jika aku ingin menghilang sebentar, kau menyanggupinya. Kau benar-benar bodoh."


Pemuda di bawah panggung itu melepaskan topi hitamnya dan tersenyum. "Sebut saja apa yang kauinginkan, aku akan menyanggupinya. Namaku Kim Taehyung dan aku adalah kekasihmu, I guess?"


;

Fluorescent Adolescent; drabblesWhere stories live. Discover now