; your eyes tell [taekook]

109 21 2
                                    


;


Orang bilang kesepian itu membunuh, perlahan, saat nyenyak dan kantuk menghadang dan kersik dedaunan terdengar sebab terinjak. Kim Taehyung duduk di sana, di sebuah pinggir danau milik kampusnya yang—syukurlah—berbau harum. Atau lebih tepatnya berbau air, tapi bagaimanalah air bisa membaui? Apa pula itu? Ia begitu teringat akan kampungnya di desa, dengan kolam-kolamnya yang penuh tahi bebek, pun warganya yang berkecimpung di blumbang. Menghiraukan para tahi bebek dan mengabsennya satu per satu. Tak ada yang namanya wangi ataupun jernih.


"Permisi, apa kau melihat koin yang tadi kutitipkan di sini?"


Seseorang menginterupsinya. Sebenarnya bukan suara itu, tetapi harum buah persik yang menerpa hidung dan membasahi rongga tenggorokan. Ia menoleh, seorang laki-laki menatapnya cemas. Terlihat jelas dari balik bulu mata lentik itu, juga pengait di tasnya yang berbentuk boneka putih, sudah jelas dia seorang yang begitu halus. Mungkin adik yang waskita dan manis.

Taehyung menggeleng. "Sepertinya tanpa sengaja seseorang membuangnya ke kolam ini, untuk mengharapkan kebaikan."

"Harusnya aku yang melakukannya!" ia begitu panik, tanpa sengaja duduk di sebelah Taehyung. "Aku tidak memercayai perkataan siapa pun, bahkan aku tidak percaya diriku sendiri, aku lebih suka memercayai sebuah koin. Oh, ya, maaf, kau orang asing. Aku ingin bersekolah di sini, mungkin kau kakak tingkatku? Namaku Jeon Jungkook, ingin masuk sastra di sini."

"Sastra, ya?" Taehyung tertarik, dengan mata bagai anak rusa yang menawan dan terbiaskan cahaya yang terpantul dari kolam. "Terkadang lucu, ya? Soal begitu dekatnya sastra dan filsafat, seperti Tuhan dengan dua jari. Jauh, atau dekat? Entahlah. Payah sekali hidupku, meragukan filsafat."

"Kau anak filsafat?"

"Iya. Terlihat jelas bukan? Maksudku, kalau kau melihat pakaianku yang begitu lusuh, juga sepatu yang sudah kukenakan selama lima tahun."

"Miskin dan filsafat itu berbeda," kata Jungkook, tertawa.

"Mungkin."

Taehyung menjawabnya dengan kata 'mungkin', padahal ia begitu tidak suka hal yang tak sama, juga hal yang abu-abu. Ditatapnya mata si pria yang kemudian menjadi lawan bicaranya, mungkin untuk beberapa jam ke depan?


Ah, kata 'mungkin' benar-benar menyebalkan. Membuatnya ragu, tak tenang, dan juga tak diskursif.


"Kautahu?" tanya Taehyung. Jungkook menoleh, menggeleng. "Di rumahku, tidak ada yang namanya kolam sebersih ini. Yang ada hanyalah kolam penuh tahi bebek, ataupun tahi manusia. Di sana juga tidak terdapat buku selain buku nikah dan akta kelahiran yang sudah pernah terkencingi kopi milik para bapak. Makanya aku bersekolah di sini, Jungkook."

"Karena kau ingin melarikan diri dari semua keterbelakangan itu?"

Mata bundar Jungkook benar-benar lain, ia seperti terdapat sebuah binar dari bohlam di dalamnya yang tak pernah mati sejak manusia tercipta.

Taehyung balas tertawa, menggeleng. "Kalau kau kira aku tidak mencintai kampungku, bukan sama sekali. Aku hanya melarikan diri dari ketidaktahuan, untuk kembali kepada ketidakpunyaan."

"Untuk nantinya menciptakan perubahan?"

"Kalau kehendak Tuhan yang egois nantinya kudapatkan, iya."

"Kau orang yang baik, Kak." Jungkook tersenyum lagi, ia mengeluarkan sebuah koin dari tasnya. "Ini adalah koin terakhirku. Seperti yang mereka bilang, mintalah tiga kesempatan dalam sebuah permintaan. Permintaanku sekarang adalah aku ingin bersekolah di sini dan bertemu kau lagi."


"Memangnya aku semengagumkan itu?"

"Ya, dan juga setampan itu."

"Kau sudah punya kekasih?" tanya Taehyung bernada jenaka.

"Kekasih tiada guna, kalau anjing mungkin punya."


;

Fluorescent Adolescent; drabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang