; ngobrol di Malioboro [taekook]

101 20 2
                                    


;


Burger's King di depanku ini kolot sekali. Cahaya yang berpendaran dari biliknya terasa kejam menghunjam. Untuk seorang anak rantau sepertiku, bisa ngopi di Malioboro dengan harga kedapatan tiga ribu saja sudah beruntung tingkat dewa.

Hari ini penuh Malioboro penuh. Dari ujung kanan—dekat stasiun yang isinya para medioker atau kalangan mahasiswa jauh—jalanan ini terasa begitu menyatu. Sebenarnya, tujuanku ke sini juga bukan untuk ngopi. Kalau hanya ngopi, ngecor sendiri di kosan dengan kopi dan gula dari ibu dari rumah tentu terasa lebih dermawan bagi dompet di kantong. Aku ke sini hanya gabut. Tiba-tiba masalah resign dari kerjaan menjadi begitu berat ketika menatap laptop dan terbengong, menyadari bahwa diri ini sempurna menjadi pengangguran sejati.

Anehnya, entah pasal dari mana, mulutku untuk sekali saja ini tidak sinkron. Biasanya ketika sedang orasi di depan para kamerad—sebutan teman-temanku di badan pers yang komunis tidak karuan, ngakunya, sih—mulut ini lancar-lancar saja ngomel pasal karya-karya feminis yang kebangetan dan kena blacklist, tapi untuk sekarang entah kenapa sedang bego-begonya.

Hanya karena ketemu seorang laki-laki, tapi parahnya, cantik banget!

"Kenapa lihatin?" tanyanya tiba-tiba. Suaranya mengingatkanku pada Dewi Ayu di Cantik Itu Luka, ketus jinak-jinak merpati. "Ada yang salah di muka aku?"

"Enggak," jawabku pendek. Sedikit terkesima dengan gayanya. Jaket jeans ala bocah zaman sekarang, celana panjang hitam yang ketat dan bolong-bolong di lutut—maknanya apa juga kurang paham untuk golongan tua sepertiku, kaus putih di dalam, rokok di tangan, dan yang paling tidak bisa kupahami adalah betapa bentuk bibir itu bisa seperti itu?! Apa Tuhan lagi bercanda pilih kasih sama dia? "Kamu cantik banget, tadi kupikir artis ibu kota."

Tidak kusangka, dia tertawa. Bukan cuma bibirnya ternyata, gigi kelincinya lebih membuat gila. "Kosa kata kamu kayak orang tua. Bukannya masih kuliah? Apa-apaan itu 'artis ibu kota'? Maksud kamu, selebgram?"

"Iya, apa pun itu, yang kesannya mewah, bukan medioker ke bawah macam aku," jawabku sekenanya. "Buat mahasiswa miskin macam aku, punya sepatu aja udah syukur. Jadi kalau ke kampus 'kan seenggaknya enggak bakal diejek sama golongan 'gue-lo'."

"Omonganmu ngawur, ya?" ia sepertinya makin tertatik, menjawabku dan mencondongkan tubuhnya untuk lebih dekat. Aroma segar sigaret Marlboro dari mulutnya bikin mabuk. "Awal aku lihat kamu, aku pikir kamu anak sastra atau seni yang biasanya orasi pas demo, cuma isinya lawak dan ngawur semua."

"Pertama, anak sastranya bener. Kedua, yang namanya orasi pas demo emang enggak sepatutnya serius." Aku tersenyum. Bulat matanya seperti anak kecil yang ingin melihat kejadian sulap lebih lanjut dari seorang pesulap tukang bohong. "Pernah ikut demo, 'kan? Aku anak pers, beberapa kali ngeliput pas demo. Delapan puluh persen dari mereka enggak paham substansi yang mereka utarakan, selebihnya barulah golongan yang bener-bener serius dan kena dampak dari aturan-aturan sepihak ala pemerintahan goblok. Kalau kamu ngasih orasi yang serius, delapan puluh persen dari mereka itu tadi, lebih enggak paham lagi. Mending awalan orasi itu nyanyi lagu-lagunya Koes Plus, terus barulah bikin topik tentang 'Penelitian Semantik atau Makna dari Lirik Lagu Koes Plus', itu bakal didenger semua pihak, iya enggak?"

"Omonganmu nyeleneh banget, beneran anak sastra rupanya. Diajarin apa sama dosen-dosenmu yang gila itu?"

"Kebanyakan sih persoalan enggak penting. Gini deh, Cantik, semua persoalan di perkuliahan menurutku enggak ada yang penting. Yang penting itu tadi, output-nya kamu enggak nyeleneh aja dari topik awal yang kamu ambil. Atau tujuanmu ngambil kuliah itu apakah sejalan sama rencana pendekmu, atau enggak, itu juga penting. Take an example, aku dari awal kuliah enggak ngarepin cum laude. Kenapa? Karena enggak penting aja buatku. Kuliah itu isinya ya haruslah nongkrong, ngopi, ngudud, ngombe."

Dia tertawa habis-habisan. Kali ini aku bisa menebak sedikit, sedari tadi lagu apa yang sedang ia dengar. Ah, mungkinkah lagunya Vina Panduwinata? Karena demi Tuhan, cantik lagu-lagunya akan sejalan dengan parasnya. Oh, atau mungkin dia suka The Way You Look Tonight dari film Swing Time? Itu loh, yang ada Dorothy Fields dan Jerome Kern. Isinya sangat mendeskripsikan malam ini.

Dia menyalurkan tangannya sendiri, tersenyum tipis manis. "Aku Jungkook, bener dari ibu kota. Bukan artis, apalagi selebgram. Cuma anak komunikasi yang ngerantau di sini. Mau jadi temen? Bahasan kamu seputar hal-hal tadi itu bahasan paling aneh yang pernah aku dapetin dari stranger. So, are you in?"

Aku terbahak. "I'm so in."


Fluorescent Adolescent; drabblesWhere stories live. Discover now