; august

98 20 2
                                    

;


Ketika pertama kali Jungkook mengetahui bahwa sepatunya menjadi terlalu sesak, ia meringis. Haruskah dia membeli sepatu lagi? Bahkan dua pertiga pakaiannya sudah mulai mengecil—atau dianya saja yang tumbuh tanpa kenal berhemat? Ketika usianya menginjak 17 tahun, jemarinya tidak terasa mungil lagi. Kepalan tangannya lebih berat dari biasanya. Desir nadinya, suara darah yang mengalir melewati jantung dan artileri, benar-benar sebuah pertanda jika masa dewasa tinggal selangkah lagi.

Ketika pertama kali Jungkook jatuh cinta, saat itu sepertinya ia berumur sepuluh tahun. Giginya tanggal dua, bola matanya jauh lebih bulat daripada sekarang. Sweater merah pemberian ibunya saat natal menjadi pasal dia menaruh hati. Karena ia jatuh sakit—menderita tifus—dan baru pulang tiga hari setelah rawat inap. Yang pertama datang ke rumahnya adalah teman kecilnya—sosok laki-laki berbadan tangguh yang datang sambil berteriak,

"Apa dokter menganggumu? Harusnya kau bilang dulu padaku!"

Iya, itu adalah cinta pertamanya. Cinta pertama terkesan bodoh, tidak tahu diri, menjadi pengharapan yang bahkan sampai suatu saat nanti takkan pupus sebegitu mudah. Ketika penyebutan 'cinta' itu saja terkesan hiperbola karena dia mana tahu soal hakikat menunggu dan menyayangi eksistensi sahabatnya? Apa itu cinta? Saat selalu merasa ingin bersamanya? Apa rasanya seperti ingin membangun rumah untuk ditinggali berdua?

"Jung!"

Namanya Kim Taehyung. Pemuda itu menjadi satu-satunya alasan mengapa Jungkook tidak terlalu paham apa itu cinta. Sekarang mereka berumur tujuh belas dan ada banyak pertanyaan yang sudah menemukan titik terang. Kenapa sepatunya mengecil? Kenapa rambutnya memanjang?

Kenapa dirinya lebih suka melihat warna ungu daripada warna biru layaknya dulu saat berusia sepuluh tahun?

Tapi, kenapa dia menyukai eksistensi Taehyung? Kenapa ia ingin membangun rumah untuk mereka tinggali berdua sembari memelihara seekor pomeranian? Apakah itu yang namanya ingin menikah? Tidak pernah ada yang menjelaskan padanya bahwa perasaan terselubung itu menjijikkan.

Bahwa ketika dua pria bersama, itu menjijikikkan.


"Bagaimana Ryujin?"

"Dia baik-baik saja."

"Aku pergi, ya?" Jungkook tersenyum kecil. Menuai perasaan hampa di dalam diri Taehyung. Pemuda itu ingin menarik kardigan yang dipakai Jungkook, ingin berbisik bahwa dirinya sudah berbuat salah menjadikan orang lain sebagai pengganti di saat hatinya tak bisa dipatri.

"Jungkook, maafkan aku?"

"Kenapa? Karena menjadikanku nomor dua?" Jungkook tertawa. "Aku yang bersalah, Taehyung. Aku menjadikan diriku sendiri sebagai hambatan. Kau hanya mampir padaku karena kau takut kehilanganku. Kenapa? Karena aku selalu melihat punggungmu saja? Karena kau selalu melihat diriku tersenyum dengan begitu naif di tiap kau berlaku?"

"Jungkook, bukan begitu. Kau bertanya padaku tapi aku sendiri tidak paham jawabannya."

Kepalan tangan Jungkook melemah mendengar alasan disertai hela napas itu. Kenapa Taehyung yang menghela napas? Seolah-olah semua perkara ini didasarkan atas dirinya saja. Harusnya dia yang lelah.

Mencinta tanpa pernah berusaha sadar sebab Taehyung tidak menginginkannya. Pemuda itu hanya tidak ingin Jungkook pergi.

"Boleh kutanya kenapa?" Jungkook berbisik pelan. Suaranya tertelan riaknya angin juga bunyi sepoi-sepoinya. "Aku memang salah tidak peduli pada Ryujin. Setiap aku melewati rumahnya, rasanya aku sudah menjadi manusia paling hina. Di saat," ia menunduk, "aku merebutmu."

"Kau mau aku jujur?"

"Jujurlah. Kalau tidak, kurasa aku tidak akan pernah memandangmu lagi. Bahkan jika kita bertemu di masa depan, bahkan meski kau sahabatku sejak kecil, silakan pergi dan jangan pernah kembalii."

"Karena kau memesona. Karena kau selalu ada untukku. Karena kau bukan milikku tapi kau berdiri dengan sebegitu cantik. Maafkan aku, Jungkook. Maaf karena sudah menciummu, memelukmu, dan menjanjikanmu banyak hal. Maafkan aku karena di akhir, aku pun akan pergi."


;

Fluorescent Adolescent; drabblesWhere stories live. Discover now