; lemonade

85 11 0
                                    

;

Geramannya terhenti, saluran televisi di depannya sejauh ini tidak mau berganti. Taehyung menyendu, sungguh rokoknya sebentar lagi habis dan ia malas sekali keluar. Ia paham, hotel berpuluh-puluh lantai ini tentu saja menyediakan room service berupa rokok, tapi ia tidak terlalu suka memanggil orang dan menyuruh-nyuruh. Pergelangan tangannya kebas menyangga rokok di tangan sedari puntung pertama sampai keberapa belas, ia kehilangan angka. Pemandangan New York di bawahnya membuatnya menyeringai. Hampir mustahil untuk mendapatkan tempat sebagus ini di tempat yang hampir mustahil pula. Teleponnya tidak berhenti berdering, kemungkinan hanya Park Jimin yang kesepian dan meminta ditemani pergi ke bar. Taehyung membuang napas, ia betulan  ingin beli rokok.

Pemuda itu menapakkan kaki di depan lift untuk turun ke bawah, menunggu sesaat, sedikit banyak ia menggerakkan kedua tangannya karena candu nikotin yang sudah di ambang batas. Pintu lift terbuka ketika suara seseorang menyapanya dengan halus, "Anda ingin turun ke bawah? Saya tidak jadi naik, ada sesuatu yang harus saya beli."

Namanya Jeon Jungkook, tentu saja Taehyung mengetahuinya karena pria itu menggemari wajah itu setengah mati. Saluran televisi yang menyiarkan bagaimana indahnya wajah Jungkook sudah menjadi serotoninnya sehari-hari—selain rokok yang sering kehabisan. "Ah, ya. Saya juga ingin ke bawah. Nama saya Kim Taehyung. Rokok saya habis dan saya juga perlu membelinya. Sorry, too much information."

"Not at all," suaranya mendayu, Jungkook memaparkan senyumnya. "Kalau begitu, silakan masuk. Jangan hanya berdiri di situ."

Ternyata Jeon Jungkook membutuhkan permen. Awalnya Taehyung kira permen yang dimaksud adalah narkotika—apalagi mereka sekarang berada di New York. Ternyata betul permen biasa rasa susu yang biasa dibeli di convenience store. "Anda perlu apa lagi? Biar saya yang bayar. Saya menggemari karya-karya Anda, jadi tolong jangan ditolak. Suatu saat nanti Anda bisa mengembalikannya jika perlu."

Jungkook mengangguk saja, senyumannya begitu menawan. Ia telah terbiasa mendapati banyak laki-laki bertekuk lutut di depannya, memujanya, mendesahkan namanya dalam angan mereka.

Namun, Taehyung sepertinya terlalu gentleman untuk dikatakan sebagai laki-laki. Pria, di depannya ini seorang pria. Pria merupakan seseorang yang tidak akan malu memperlihatkan rona merah di pipi ketika pujaan hatinya tengah menatap sedemikian rupa. "Terima kasih, Taehyung. Saya berutang budi. Ah, saya juga hanya sedang memiliki keperluan di sini. Acara talkshow yang tidak menarik, mereka bercanda seolah itu lucu dan saya diharuskan untuk tetap tertawa dan menerima uang."

"Iya, itu hal yang sulit, terutama untuk seorang bintang," tukas Taehyung, mulai menyulut rokoknya lagi. Ia sedikit terperanjat, "Maksud saya, acaranya. Jim tidak seharusnya menanyakan pada Anda tentang hal-hal di masa lalu seperti itu, ia hanya butuh uang kotor."

"Anda menonton acara saya?" Jungkook memekik senang.

Karena gigi kelinci dan ranum stroberi berbau susu itu; Taehyung tanpa sadar terkekeh. Jalanan di pinggir supermarket ini seperti berubah aroma dari pesing menjadi segar. "Lemonade. Tanpa sadar jalanan ini tercium seperti lemon. Seperti Anda."

;

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 01, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Fluorescent Adolescent; drabblesWhere stories live. Discover now