; knees [taekook]

134 18 3
                                    

;


Harapan Taehyung lumayan masai. Mendapati dirinya sendiri bergelung di antara selimut dan bantalnya yang kelabu. Hujan turun, detik demi detiknya mengutuk dan terbebankan pada pundaknya sebuah kesedihan yang begitu mendalam. Teramat luruh, diterpa air mata yang mengering, ataukah diterpa kehilangan yang terempas.

"Kalau nantinya aku bertempat tinggal di rumahmu, kuharap handuk basah ini sudah tidak ada," pekik Jungkook sebal. Tangan kanannya mengangkat sebuah handuk yang terlihat begitu kumal, bermerek mahal nyaris tak terelakkan sampai ia merasa sayang sendiri.

Taehyung hanya terkekeh, memeluk pinggang kekasihnya dari belakang. "Kalau nantinya aku bertempat tinggal di rumahmu, kuharap handuk basah seperti ini tergantikan oleh apa pun yang kau mau."

Naluri Jungkook rapuh, ia begitu terenyuh. Alunan Vivaldi di gramofon membuatnya tertawa kecil. "Kau mengira bahwa kita hidup begitu lokal, padahal kau lebih suka musik beginian, Tae?"

"Aku menemukanmu di antara penyanyi jaz yang lainnya, Jungkook. Disebuah hamparan klub yang begitu dingin menusuk sebab tak pantaslah seorang bidadari sepertimu menggoda orang lain selainku."

"Aku tidak menggoda," keluh Jungkook, didapatinya lengan sang kekasih yang masih melingkar, kemudian ia cubit perlahan. "Kau harus benar-benar menjaga cara bicaramu yang begitu obsesif kepadaku maupun kepada gramofon tuamu, Taehyung. Dia tidak bernyawa, tetapi aku iya. Kau tidak suka aku menyanyi?"

"Aku tidak suka kau menyanyi untuk orang lain," koreksi Taehyung, ia merengut. Mengeratkan kembali pelukannya ketika longgaran yang ia rasa dan jengah yang naik ke permukaan. "Aku begitu mencintaimu. Kalau kau mau, lalunan itu kau nyanyikan saja untukku di tiap malam ketika aku hendak tidur. Jangan bermimpi menyanyi untuk orang lain."

"Tidurlah di pahaku habis ini, aku akan menyanyikan sesuatu."


;


Ia paham, bahkan bayangan ketika mereka menari disinari lampu kulkas yang begitu menyala pun menjadi momen paling ikonis. Menjadi sesuatu yang tak pernah habis ia berusaha kenang, ia berusaha campakkan, atau tak disangkanya takkan pernah terulang kembali.

Ia paham, semua itu fana. Nyanyian itu, peluknya, atau bahkan gramofon tua yang tak pernah lagi ia ketahui bagaimana sumbangnya di saat Jungkook sudah tidak di sisinya. Kedua kakinya melangkah, di antara kedua jam yang begitu besar, yang membuatnya terus terjaga sebab tidurnya tak pernah nyenyak tanpa lulabi layaknya Natal tiba.

"Bahkan mungkin lututmu yang begitu lucu, di sela-sela ketika kau menyanyi dan kau melipatnya agar pahamu bisa menopang kepalaku, juga begitu fana, Jungkook?" ia tersedu. "Astaga, Jungkook, bagaimana aku harus hidup setelah semua nyanyianmu yang menghantui tiap malamku? Astaga, Sayang ..., bagaimana jadinya? Kuturunkan semua harga diri sampai di mana aku menyadari, bukanlah itu semua yang sepadan denganmu, tapi betapa kau tidak begitu menyukai bahwa kau akan menghabiskan waktumu untukku?"


;


Taehyung, aku begitu mencintaimu, tapi aku memutuskan bahwa kau begitu memelukku, begitu erat, sampai mungkin napasku tak akan sampai kepadamu. Aku mencintaimu, tetapi kau begitu berduri, sampai mungkin kelopak bungaku tak akan pernah mekar bersamamu.

Kuharap, kau menemukan seseorang yang akan bernyanyi untukmu.

Namun, berjanjilah kau tak akan menyakitinya dengan durimu, atau dengan tawamu yang begitu ranggi di sela-sela malam ketika kalian enggan tidur saking indahnya malam terlewati begitu saja.

Sesampainya di tempat yang baru, aku akan bilang kepada orang-orang di sana bahwa aku pernah bersamamu. Bersama seseorang yang aku jumpai, bersama seseorang pemilik gramofon terbaik yang pernah ada, yang bahkan mungkin Tuhan pun iri karenanya.

Orang yang pernah mencintaimu, Jeon Jungkook.


;


Surat itu terbaca di benaknya, membuatnya kembali menyendu.


;


Fluorescent Adolescent; drabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang