; no space [taekook]

183 36 4
                                    


;

"Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah diam. Revolusi pemerintahan dengan revolusi LGBTQ 'kan hampir sama. Sama-sama menuju kebaikan dan sama-sama dibenci sejagat raya," begitu kata Park Jimin—di antara tumpukan beberapa orang yang mengelu-elukan namanya dan menghasilkan serangan buntu. Terempaskan badannya, dengan almamater yang ia lipat di lengan dan sebotol bir di tangan kanan.

Kim Taehyung yang melihatnya hanya menghela napas. Pasti hanya mereka yang menyamakan revolusi mahasiswa sama dengan revolusi LGBTQ, ditunggangi pula. Park Jimin bersikeras dan ia juga tidak sempat memberi argumen lain, apalagi menjadi orang suci. Persetanlah, dia ikut saja.

"Oi, Tae," peluk Park Jimin dari belakang, membuat Taehyung bergidik jijik dan menggumam kata gay dengan bibir miring. Jimin tertawa, menepuk bahu sahabatnya dan duduk di sebelahnya.

"Sungguh kasihan saat melihat negara kita sedang menuju lebih baik dan kau masih tidak punya pacar," kata Jimin. Merampas botol kedua Taehyung dan diteguknya sampai habis. Taehyung meringis, kemungkinan Jimin akan mati sendiri bertemankan lambung yang pecah.

Taehyung merasakan sudut hatinya dicubit, intinya sebal. Ia menjawab sembari mengecek kira-kira butuh berapa cangkir kopi Jimin keesokan harinya untuk sober. "Lipat mulutmu dengan benar sebelum aku robek pakai pecahan botol. Aku tidak punya pacar karena aku pemilih."

"Dan juga karena kau kalah beruntung dariku?" kekeh Jimin, meneguk lagi. "Maksudku, aku punya Min Yoongi. Dia ... ugh, dia sempurna."

Taehyung tidak menjawab sebab di dalam hati mengakui pesona Min Yoongi.

Jimin menegurnya lagi, "Dengar, aku akan mencarikanmu pacar. Sekarang malam revolusi, Taehyung! You should celebrate it, at least for one night. Bujangan sepertimu jangan sampai mati virgin di malam purge!"

"Tidak, tidak lagi, semua rekomendasimu selalu menyedihkan, tahu? Tukang cerita, berisik, dan terlalu kecil, ataupun payah dalam komunikasi. Jangan berikan aku orang bodoh, aku lebih baik bersama orang gila."

Taehyung mematung karena sekarang Park Jimin menghajarnya lagi, dengan seringai yang ingin ia robek betulan dari ujung ke ujung bibirnya yang lebar. Pemuda itu memesankan kopi, sudah diduga. Pagi-pagi masih di daerah sekitar sini? Sudah jelas dia bermain malam tadi dengan Min Yoongi.

"Kalian mengobrol semalaman?" tanya Jimin menyebalkan.

"Pilihanmu sampah, bagaimana bisa kau bertanya?" erang Taehyung, protes. "Apa kau nyaris menghancurkanku? Telingaku bisa gila kemarin malam jika saja wanita itu tidak mabuk dan pulang dijemput kakaknya."

"Hei, siapa yang bilang wanita?" kekeh Jimin, mengambil gestur cangkirnya yang ia todongkan kepada Taehyung dan bersandar pada meja bar. "Pemuda yang kemarin menjadi bartender dan melayani kalian berdua."

Taehyung terperangah, "A-apa? Kau mengenal Jungkook?"

"Mengenal? Pffft! Dude, dia adalah calon yang kurekomendasikan untukmu!" teriak Jimin, melayangkan senyuman kurang ajar semacam 'you didn't see that coming, huh?' kemudian terbahak-bahak. "Serius, dia adalah calonku, juniorku saat SMA. Aku tahu kau jelas akan menolak mentah-mentah orang yang kurekomendasikan and not pay attention to them makanya aku menjadikannya bartender—selain itu memang hobinya. Dia anak yang baik, 'kan? Selain pembicara yang baik, tetapi tidak berlebihan, dia seorang pengontrol dan pendengar yang berbakat. Kau jelas tidak pulang hari ini, 'kan? Berbincang dengannya sampai jam berapa? Tiga?"

"E-empat," koreksi Taehyung terbata. Mengingat kejadian kemarin.

"Kau serius?" tanya Taehyung tergelak. "Maksudku, kau betulan seorang bartender yang hobinya meracuni anak-anak perkuliahan?"

"Ya! Aku tidak kuliah, bukan? Lebih baik aku buat mereka sering menghabiskan uang di sini saja dan itu menjadikanku kaya."

Taehyung menggumam rendah, mulai menyukai pria ini. "Kalau besok aku mabuk, bisakah kau menghidangkan kopi pagi-pagi? Atau kau mau pergi ke hotel bersamaku dan bermain sampai matahari terbit?"


;

Fluorescent Adolescent; drabblesDonde viven las historias. Descúbrelo ahora