*Diamnya Beribu Makna

19 2 0
                                    

Pernahkah kau dengar kisah tentang marahnya orang baik hati?

Bukan membentak, bukan menasihati, bukan balik melempar.

Dia hanya diam.

Tadi pagi terjadilah saat-saat itu. Saat-saat yang tak pernah ingin kulihat lagi dalam hidupku. Aku tak sanggup, karena bahkan Abahku kalah– meskipun marahnya bisa membuat warga desa sumbat telinga.

Yang marah itu, Pak Amir. Dia satu-satunya pengajar tetap di sekolah kami. Honorer, tak kunjung-kunjung jadi PNS di usianya yang makin menua, dia setia saja mengajar di bagunan kayu kecil nan lusuh yang bangunannya jika kena sentil tinjuanku mungkin bisa ambruk.

Pak Amir adalah segalanya, bagiku, bagi kami. Teramat sabar, teramat mulia, teramat indah kelakuannya bahkan saat masih muda pun ... tak ada yang tak terpesona olehnya.

Biasanya pak Amir kalau marah pun seram, seperti bapak-bapak kebanyakan. Tapi suaranya lembut, menasihati. Caranya menyampaikan nasihat di kepalaku terdengar seperti ajakan untuk kembali melakukan kesalahan saking lembutnya.

Aku memang laki-laki yang sedikit nakal, tapi aku juga takut Pak Amir mampir ke ladang, bercakap dengan mamak pasal ulahku hari itu. Jadi aku hanya nakal sebatas nakal biasa. Tugas dari beliau kukerjakan, petuahnya selalu kuacuhkan.

Aku tahu betul Pak Amir teramat penyabar, sangat sabar malah. Dimana lagi bisa dijumpai pengajar sesabar dirinya? Dengan gaji yang bisa dibilang teramat sedikit, yang kebutuhan sehari-hari sebagian besar dari hasil ladang dan bantuan warga desa. Kupikir beliau harusnya bisa saja meninggalkan kami, merantau ke kota– setidaknya honorer di sana tidak seperti disini.

Tapi dalam hati aku menolak jauh-jauh pikiran itu. Dalam hati aku berharap teramat sangat Pak Amir tak akan pernah tinggalkan desa, dan aku tahu betul pak Amir tak akan pergi.

Maka hari ini, aku tak akan cerita panjang lebar soal marahnya Pak Amir.

Pagi itu, Anas, teman yang setahun lebih tua dariku punya rencananya sendiri. Anas adalah salah satu murid kesayangan pak Amir, dia pintar– kelewat pintar malah hingga pak Amir pernah bilang, andai ada kesempatan untuk mengirim Anas untuk Olimpiade Nasional, pulang-pulang dia bisa bikin desa ini jadi kota kecamatan.

Tapi Anas yang jenius itu tidak bertingkah seperti biasanya. Dia melakukan hal yang tak bisa kami bayangkan, aku bahkan tidak pernah diberitahu rencananya itu.

Dia pergi ke kota kecamatan, berjualan hasil ladang, dan uangnya dia belikan seragam dinas yang harganya bisa dibilang mahal, bahkan sisa uangnya diberikan pada pak Amir.

Aku melihatnya saat hendak mengumpulkan ranting kering, rutinitas pagi. Pak Amir marah tak terkira.

Bukan karena itu hasil jualan ladang. Tapi karena anak didiknya tak paham soal ajaran yang pernah ia sampaikan.

"Bapak ikhlas soal ilmu yang selama ini bapak berikan, jadi jangan pernah merasa bapak tidak terima, bapak ikhlas."

Pak Amir selalu ikhlas. Anas bermaksud baik, dia hanya tak terima Pak Amir kadangkala hanya pakai kaus dan sarung, baju dinasnya habis dimakan tikus. Niatnya teramat baik malah, tapi Pak Amir tidak bisa menerimanya.

Aku bisa lihat di saat bersamaan dari sorot matanya pagi itu, memarahi Anas hanya dengan kata, "kau tidak paham, nak." Lalu masuk kembali ke rumahnya tidak menerima pemberian Anas.

Saat pagi-pagi ke sekolah. Mengajar kami kelas lima dan enam di jam pertama, dia hanya diam.

Diam yang tak pernah kami bayangkan, diamnya orang yang sabar, diam beribu makna.

Pak Amir tidak menjelaskan, dia tidak menasihati Anas. Dan Anas sudah menangis tersedu-sedu.

Aku hanya bingung mengamati kejadian itu. Mengapa Pak Amir tidak terharu saja menerima pemberian Anas dan memakainya penuh bangga. Itu tandanya dia amat sangat dihargai.

Aku masih belum bisa paham kenapa pak Amir marah. Atau kami hanya tak paham apakah beliau marah atau apa. Anas meminta maaf berkali-kalipun pak Amir tetap diam dan tak mau menatapnya.

Saat pak Amir berdiri, mengusap wajah dan tersenyum tak biasa. Beliau meminta maaf pada Anas dengan wajah yang lembut, berkata pelan.

"Bapak juga tahu engkau ikhlas. Tapi kau tak tahu itu buat bapak sedih, sebab kau berpikir bapak tak merasa cukup dengan hidup bapak saat ini."

Saat itu juga, seisi kelas tidak akan pernah berpikir Pak Amir akan meninggalkan desa.

*****

A/N;

24-02-21

NuminousWhere stories live. Discover now