*Hey Aku Adalah Wadah

8 0 0
                                    

Jalanan aspal terlihat semakin kelam, akibat tetes beruntun dari angkasa. Jika mendongak juga kita bisa lihat betapa indahnya langit kelam saat itu.
Langit itu kelam, namun ia tampak sangat indah. Mengapa demikian? Mungkin karena ia ditemani bintang gemintang.

Tempat ini nyaman seperti biasa. Satu-satunya tempat aku bisa menjadi orang waras.  Yah, Kesunyian ini membuatku bebas, andaikan aku bukanlah burung lepas, pasti bebanku saat ini sudah seringan kapas.

Sayangnya itu hanya bisa kupendam sendiri, dengan segala celah kejernihan pikiranku yang tersisa.
Aku iri pada langit, iri pada awan, mereka mampu menampung tangis, dan gemintang, menjadi wadah kelam yang indah. Sarat akan kesedihan yang membuat orang-orang merasa senang, membawa kenangan suka duka.

Sedangkan aku? Aku juga memanglah sebuah wadah. Wadah yang menampung pikiran kelam orang-orang. Wadah kekelaman. Menjadi seperti awan sepertinya hanyalah mimpi bagiku, sudah takdir aku menampung pikiran buruk orang-orang.

Tapi tidak seburuk itu. Disini, diatas rumah pohon tertinggi di pelosok hutan, yang bahkan mampu membuatku melihat jalan raya.

Sesuatu yang berkelibat mengaburkan semua pikiran apatisku barusan. Menjadi awan? Aku bisa menjadi diriku sendiri. Menampung pikiran buruk orang-orang? Satu orang berbagi kesenangan dan ceritanya padaku. Ia hadir, membawa berjuta air masuk dalam kolam tintaku.

Lupakan soal beban, lupakan soal pikiran buruk, lupakan semua pasal kedengkianku pada hal yang tak sepantasnya aku merasa iri.

Satu hal yang kupikirkan, mampu menghilangkan semua itu. Ini tentang kehidupan, tentang dunia yang kelam. Tentang persepsiku memandang lika liku pasang surut jalanan yang dirancang Tuhan. Aku menemukan banyak hal, banyak hal yang membuatku ribuan kali atau lebih untuk sadar, tapi aku sudah teramat bebal. Tidak bisa lagi mencerna, apalagi menerima.

Ini bukan tentang diriku yang amat beruntung, ini hanyalah sebuah dokumenter yang membuatku mengulang, dan terus mengulang, ini bukanlah kisah keluarga bahagia, guru yang hebat, gadis yang kucintai, ataupun keluarga yang palsu. Ini tentang betapa semua hal itu hanyalah fraksi yang terlibat dalam masa kelamku dulu, dalam sebuah tragedi panjang yang membunuhku berkali-kali.

Sungguh, sudah kenyang aku hidup dalam kematian, sudah muak aku mati dalam kehidupan.

Kali ini, rasa takut yang sama kelamnya kini hadir lagi tanpa mengetuk pintu. Hati yang semakin mengeras, pintu yang terkunci rapat didobrak ketakutan semudah pedang menebas permukaan air.
Beriak. Kini biarlah.

Ini kisah bagaimana pintu ingatan itu akan mengalir, menjelaskan bagaimana hal yang paling ironi datang dan pergi.
Kisah ini dimulai saat semuanya sudah sedikit lebih baik.

*****

04-03-21

NuminousWhere stories live. Discover now