2.2. hoping things would change

1.1K 131 10
                                    

Aku berharap segala hal mampu berubah setelah kepergian Jeno.

Aku melewati musim dingin sendirian tanpa siapapun di sisiku. Harapanku akan liburan di Utah atau mungkin Colorado untuk bermain salju musnah sudah. Donghyuck mengajakku bermain di taman komplek perumahan, namun aku menolaknya karena aku benar-benar tidak memiliki mood untuk bermain apapun.

Jeno telah berangkat ke Seattle lima hari lalu. Natal akan segera datang dan hadiah untuknya teronggok tak berguna di laci nakasku.

Aku menangis hampir dua jam sehari hingga Renjun dan Lucas akhirnya geram padaku dan menyeretku keluar kamar untuk membersihkan selokan yang penuh dengan daun kering karena hujan deras yang semalam mengguyur Los Angeles.

"Kenapa kalian memaksaku sih?!" Aku menggerutu sembari mengomel pada dua orang temanku itu.

"Ayolah, Jaemin. Jangan bertingkah seolah Jeno pergi meninggalkanmu selamanya. Ia hanya ke Seattle! Dan ia akan kembali musim panas tahun depan!"

Aku cemberut karena yang dikatakan Renjun ada benarnya. Sahabat mungilku dan kekasih jangkungnya itu terkadang menyebalkan tapi aku tidak punya teman selain mereka dan Donghyuck serta Mark.

Kami pun membersihkan selokan selama sisa sore, makan malam bersama sembari merayakan penyambutan hari Natal. Hujan kembali turun dengan deras malam harinya dan kupikir sia-sia saja aku membersihkan selokan sore tadi.

Di tengah hujan badai, aku mengomel pada Renjun lewat telepon. Tapi ia malah balik memarahiku dengan kurang ajarnya. Setelahnya aku menutup teleponnya dengan emosi menggebu, tapi semenit kemudian aku sadar bahwa yang dikatakan Renjun ada benarnya juga.

Ia mengatakan tujuannya mengajakku main tadi sore. Katanya supaya aku bisa berhenti galau memikirkan Jeno dengan melakukan kegiatan di luar rumah. Aku pikir Renjun benar. Si mungil memang temanku yang paling baik meskipun terkadang garang sampai si bongsor Lucas itu takut padanya.

Di tengah kemelutnya pikiranku, ponselku berdering di atas nakas, menampilkan nama kekasihku yang pergi meninggalkanku lima hari lalu.

Oh, ayolah, mengapa aku malah membuat Jeno terdengar jahat disini?

Aku mengangkatnya, dan di detik pertama telepon kami tersambung, terdengar nada suara Jeno yang berat dan rendah dari seberang.

"Jaemin?"

"Ha-hai, Jeno..."

Suaraku terdengar begitu kaku dan aku mendadak kikuk di tempat. Oh ayolah, astaga, Na Jaemin. Ini hanya Jeno. Lee Jeno-mu yang biasanya kamu temui tiap hari.

"Hei, Sayang. Apa kabar?"

"Jeno... aku—aku baik. Bagaimana denganmu disana?"

"Segalanya baik. Ibu mengunjungi kami dan menginap selama tiga hari. Kami piknik bersama Kak Taeyong yang sedang cuti. Kamu harus kesini juga kapan-kapan. Aku akan menjemputmu, Babe. Beritahu aku jika sekolah sudah memasuki liburan musim panas."

Namun kegundahan hatiku menghilang begitu saja ketika mendengar suara tawanya yang begitu melegakan itu. Ia terus bercerita mengenai masa akhir sekolah menengahnya dan berbicara mengenai kuliahnya di Seattle. Ia juga menceritakan soal Bongshik, Seol, dan Nal yang tak ada hentinya mengeong di depan pintu dapur tiap malam.

Aku menghabiskan hampir empat puluh lima menit berbicara dengannya. Dari posisi berdiri hingga duduk lalu tiduran di atas kasur. Pembicaraan kami malam ini ditutup dengan salam manis dari Jeno, lalu aku pun tertidur dengan senyum lebar malam itu.

Kupikir aku tak perlu khawatir meskipun tinggal jauh dengan kekasihku. Ia mempercayaiku, begitu pula aku kan? Aku harus percaya padanya. Lagipula, kami sudah berjanji.

Starlit Night - [nomin]Where stories live. Discover now