14. movies

665 43 2
                                    

Aku selalu mendambakan kisah cintaku terjadi seperti dalam film yang pernah kutonton dulu-dulu. Bertemu lalu menikah, menjalankan hidup bahagia ketika keluarga kecil tercipta.

Aku selalu memandangmu seperti kamu sempurna untukku, seperti memang dirimu diciptakan hanya untukku, seperti dirimu satu-satunya. Jika kamu adalah berlian, maka aku akan jadi cincinnya. Karena kamu sempurna, gemerlap, dan diinginkan banyak orang.

Semua teman-teman kita memandang kita dengan tatapan iri, karena kita adalah pasangan sempurna, selalu tertawa, dan berbagi kisah bahagia. Kita sangat manis, oh bahkan mungkin terlalu manis.

Bagiku, kamu telah membuat dunia dimana hanya berisi kita berdua. Maka aku akan memberimu kunci, lalu menikmati saat-saat dimana kita tinggal di dunia yang kita ciptakan sendiri.

Aku bahkan masih tak percaya bahwa ini bukanlah mimpi. Aku jatuh cinta dalam fiksi—dalam sebuah fantasi, dan hidup bukanlah fiksi. Iya, itu adalah diriku. Sangat mencerminkan diriku. Semua hanya terjadi dalam bayanganku.

Aku masih ingat sepuluh tahun lalu ketika kita pergi berdua ke suatu pesta bersama teman-temanmu dari SMA, bergandengan tangan tetapi hanya untuk sebuah pertunjukkan, untuk dipertontonkan, agar dirimu tidak menjadi bulan-bulanan karena belum memiliki gandengan setelah putus terakhir kali dengan mantan pacarmu. Karena sesungguhnya dari tujuh hari dalam seminggu, kita bahkan jarang bicara. Kita jarang bertemu. Kita jarang bersinggungan. Tetapi mereka tidak tahu, mereka tidak boleh tahu.

Aku ingat delapan tahun lalu, ketika sedang menepikan mobil di Taco Bell, menunggu kakakku memesan makan malam sementara aku memandangi ruang obrolan kita, berteriak dalam kepala batuku ini, berkata dalam hati, 'Bagaimana bisa kamu masih mencintai mantan pacarmu yang menyelingkuhimu itu? Andai kepalamu bisa kuganti dengan labu, maka sudah kuganti kepala kerasmu itu sejak lama'. Tetapi aku juga tak bisa berkomentar apa-apa karena aku sadar aku sama keras kepalanya sepertimu.

Kamu selalu berkata bahwa kalian telah berakhir, tetapi kenapa ia masih meneleponmu pukul tiga dan empat pagi? Itu cara yang lucu untuk tetap berteman.

Di kepalaku, kita berdansa dalam gelap, mendengar lantunan waltz menenangkan pikiran dan memanjakan telinga. Dengan tanganmu di pinggangku, tanganku di bahumu, berdiri begitu dekat dan menggerakkan kaki dengan seragam. Aku tidak sengaja menginjak kakimu lalu kamu mengaduh dan kita berdua tertawa.

Di kepalaku, kita berciuman di bawah bintang, berdiri di puncak bukit di tengah musim panas ketika cuaca sedang bagus dan langit sedang cerah meskipun hari telah malam. Tanganmu merangkul bahuku, menarikku mendekat untuk menjagaku dari udara dingin, lalu kepalaku di bahumu, bersandar begitu nyaman hingga aku hampir terlelap ketiduran.

Di kepalaku, kita tak pernah tumbuh lalu berpisah. Selalu bersama-sama sejak aku mengenalmu di Sekolah Dasar, dan akan berakhir bersama pula di bawah atap yang sama. Dengan dirimu di sampingku setiap pagi menjelang, menyaksikanmu membuka mata, lantas memasak sarapan bersama.

Di kepalaku, kamu tak pernah menghancurkan hatiku. Kamu menjaganya seperti sebuah benda kaca, kamu menepati semua perkataan dan janji-janjimu, sehingga tangis takkan pernah menghampiri diriku dan aku tak perlu menyia-nyiakan air mata untukmu.

Tapi kita tahu bahwa bukan itu yang kita lakukan. Karena—oh, Jeno. Hidup kita tidak seperti film yang kita bayangan waktu berumur tujuh belas.

Oh, betapa aku menginginkan sebuah cinta seperti di dalam film.

Jeno, kita telah kehilangan semua cinta yang kita miliki dan aku tidak dapat bertindak seolah hal itu takkan pernah terjadi lagi. Aku jatuh cinta padamu dan aku tidak dapat berpura-pura bahwa aku sudah tidak mencintaimu. Dan aku pikir kamu melihatnya jelas melalui diriku, bahwa rasa cinta itu jelas ada hadirnya untukmu.

Tetapi Jeno, hidup ini bukanlah film, dan aku masih mengharapkan sebuah kisah cinta seperti film yang kita tonton sepuluh tahun lalu.

Lalu aku menatapmu di masa kini, sepuluh tahun setelahnya. Berdiri dengan bangga di depan altar, di samping perempuan yang akan menjadi pendamping hidupmu, yang akan berbagi tawa bersamamu sepanjang sisa hidupmu, yang akan mengukir kisah bahagia dalam kisah perjalanan hidupmu—persis seperti yang kubayangkan dalam kepalaku sepuluh tahun lalu, namun bukan dengan diriku yang bersamamu.

Lantas pada akhirnya aku hanyalah seseorang yang pernah kamu genggam tangannya, yang pernah kamu beri harapan, sebelum akhirnya segalanya harus sirna dan disinilah aku sekarang, duduk di kursi barisan paling depan, menyaksikanmu mengucap janji suci di hadapan pastor.

Aku ikut senyum ketika acara pemberkatan selesai karena melihatmu senyum begitu lebar, lantas aku turut berdiri dan bertepuk tangan seperti yang lainnya.

Bergeser ke acara selanjutnya yang dilaksanakan di halaman belakang rumahmu, aku duduk menyendiri di kursi paling depan, mengikuti setiap prosesi acara resepsi dengan senyum yang terus-terusan kupaksakan. Suasana ramai tapi diriku terasa kosong, mataku tak pernah lepas dari dirimu yang sedang menyapa tamu, merangkul istrimu dengan begitu bangganya.

Hingga kemudian lamunanku buyar kala kakak laki-lakimu meneriakkan namaku dari atas panggung, memintaku untuk memberikan kesan dan pesan untukmu dan pasanganmu.

Lantas aku berdiri, memasang senyum dan melangkah ke atas panggung dengan percaya diri.

"Jeno, semoga bahagia selalu." Aku membuka.

Awalnya suasana hening hingga aku melanjutkan kalimatku, semua orang bertepuk tangan dan sebagian tertawa berkat lelucon jenaka, lalu aku selesai memberi sambutan.

Di ujung tangga, kamu ternyata menungguku, tersenyum tipis padaku, dan aku tahu apa yang sedang ribut dalam kepalamu.

"Jaemin."

Kamu hanya menyebut namaku, lantas tak berkata apa-apa hingga menit berikutnya.

Aku membalas senyummu sebelum berkata, "Jeno, hidup ini bukanlah film, tetapi ingat," Aku kemudian menunjuk dadaku sendiri, "Aku masih mengharapkan kisah cinta seperti film yang kita tonton sepuluh tahun lalu."

Kemudian aku melangkah pergi, melewati pagar pekarangan rumahnya dan berjalan perlahan menyusuri jalan, menatap langit bulan Juli yang cerah dan berawan.

Oh, how I want a love like the movies.




























Halo👋 kangen aku gak dikk,, [mnghilang lagi]

Starlit Night - [nomin]Where stories live. Discover now