9.2. i've loved you since we were 18, long before we both thought the same thing

711 78 3
                                    

Bahu bersisian penuh kebisuan, dengan kaki si manis menyilang di atas paha milik si Lee, sedang lengan kekarnya merangkul bahu sempit milik sang kekasih, membuat si Na menyandarkan kepala pada bahu tegap Jeno.

Angin sejuk yang berhembus di atas bukit menerbangkan rambut keduanya dengan lembut, menyapu permukaan kulit dengan eloknya sepoi angin musim semi.

"Kamu masih cantik seperti terakhir kali aku menemuimu, Na," Jeno berucap begitu ringannya sambil mengelus pipi Jaemin, senyum tipis terulas melihat mata manisnya yang jernih bagai air sungai dekat kebun bunga miliknya. Jeno mengecup ujung hidung lalu kelopak matanya, mendusalkan hidung mancungnya di pipi lembut Jaemin sebelum memeluknya lebih erat lagi, menariknya ke dalam dekapan.

Debaran Jeno terdengar di telinga Jaemin yang menempel dengan dadanya. Dalam hati Jaemin tersenyum. Akhirnya debaran familiar itu terdengar kembali di telinganya.

"Apa saja yang sudah aku lewatkan, Na?" Tanya Jeno, membuat Jaemin mendongak menatap sang pujaan hati.

"Banyak. Banyak sekali."

Jeno terkekeh lesu. Tangannya mengusap rambut Jaemin yang wangi seperti kayu cendana. Ia merengkuh pinggang ramping itu, mengecup pucuk kepalanya, menyalurkan kata maaf melalui tindakan lembut yang membuai.

"Maafkan aku, Na. Tapi aku memenuhi janjiku tujuh tahun lalu, 'kan?"

"Tetap saja kamu bodoh, Jeno. Kamu pergi begitu saja tanpa pamit, tidak ada kabar selama tujuh tahun, dan meninggalkanku sendirian setelahnya. Tak kusangka, kamu brengsek juga ternyata."

Jaemin lantas mendongak lagi, yang disambut senyum melengkung yang biasa Jeno tampilkan padanya. Jemarinya tanpa sadar bergerak nenyentuh rahang Jeno yang semakin tegas setelah bertahun-tahun terlewati. Pipi Jaemin kembali bersemu ketika Jeno menggenggam tangannya sebelum dikecup tiap-tiap ujung jarinya.

Pemuda Na itu sontak menarik tangannya dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang Jeno. Si Lee tertawa gemas, mencubit pipi yang rasa-rasanya makin menggembil setelah tujuh tahun lamanya.

"Maaf."

Jaemin tidak menjawab, hanya merapatkan tubuhnya pada tubuh sang kekasih hati, yang lantas membuat Jeno mendekap erat seolah tak memberi Jaemin jeda untuk bernapas.

"Na, aku akan menepati-"

"Aku tidak ingin dengar lagi soal itu," Jaemin menyela, menaruh telapak tangannya di depan mulut kekasihnya. "Jika itu berarti kamu akan meninggalkanku lagi sampai entah kapan."

Jeno meringis di balik tangkupan tangan Jaemin. Jeno jelas merasakan keresahan yang dipendam di dalam hati kecil kekasihnya. Maka ia tarik tangan Jaemin dari mulutnya, ia genggam lembut sebelum buku-buku jarinya yang jadi sasaran kecup.

"Kali ini, aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, Na. Aku janji."

"Kamu serius?" Jaemin bertanya ragu.

"Aku serius, Na. Ketahuilah, kamu adalah alasanku bertahan empat tahun belakangan, alasan utamaku untuk kembali kesini, karena setengah dari hatiku masih tertinggal disini," Jeno mengulas senyum sambil menunjuk tepat di dada Jaemin. "Aku menyayangimu."

Jaemin tersenyum membiarkan dadanya berdebar liar tak karuan, karena alasan dibalik debaran itu adalah Jeno, satu-satunya orang yang Jaemin biarkan mengacak-acak pikirannya, menyelinap memasuki hidupnya yang kemudian tak pernah terasa sama lagi semenjak Jeno datang.

"Bagaimana kabar yang lain?"

"Siapa?"

"Ya... mereka, yang tumbuh bersama kita."

Starlit Night - [nomin]Where stories live. Discover now