9. the broken leg and those lingering feelings

873 67 4
                                    

Ketika usianya enam tahun, Jeno pernah mematahkan kakinya.

Murni karena ketidaksengajaan, ia sedang berlari dari kejaran kakaknya beserta teman-temannya ketika kakinya tergelicir di tanah basah, membuatnya terguling ke bawah tebing dengan tidak elitnya. Namun, wangi rumput gunung yang menguar basah sehabis hujan seolah membuat dada Jeno meletup-letup dipenuhi rasa bebas yang entah mengapa terasa begitu mengasyikkan.

Begitu tubuhnya tergeletak tak berdaya di dasar tebing dengan kaki yang berdenyut nyeri karena patah, Jeno mendongak menatap langit biru berawan yang tampak cerah. Meskipun habis hujan, rintik air tidak serta-merta membawa mendung yang dibenci Jeno. Tak ingin mengurangi bias indahnya, Jeno memutuskan untuk tersenyum, tidak menganggap pengalaman menyakitkan hari itu sebagai hari sialnya walaupun air mata mengalir deras menuruni pipinya.

Ia lebih muda kala itu, ketika ia mulai menyadari arti dari perasaan sakit hati yang muncul dari dalam diri ketika ia menjalin sebuah hubungan pertemanan dan kehilangannya di tahun-tahun berikutnya, ketika Jeno merasa rindu dengan segala kenangan yang ia tinggalkan dibelakang.

Dan rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali ia melihat hamparan luas padang rumput yang menghiasi alam kampung halamannya. Terasa atmosfer euforia yang kentara ketika wangi rumput yang baru dipotong dan angin sejuk pedesaan menerpa wajah Jeno dari jendela mobil jeepnya yang terbuka lebar.

Jeno sadar ia sudah bertumbuh dewasa, dan ia tidak sabar untuk pulang.

Mengendarai jeepnya dengan kecepatan 90 di jalanan pedesaan yang selalu sepi, terakhir kali Jeno ingat jalan utama menuju desa itu hanyalah tanah keras berbatu cadas, yang kalau hujan menciptakan genangan keruh yang lama surutnya, bukan aspal hitam legam mulus seperti saat ini.

Sambil menyayikan "Tiny Dancer" milik Elton John yang mengalun apik dari radio mobilnya, beribu kenangan yang tertinggal tanpa permisi menyeruak memenuhi benak.

Dari ribuan adegan demi adegan kenangan yang berputar di benaknya, Jeno paling merindukan kenangan ketika ia duduk dengan begitu damai di suatu senja, terasa begitu nyata ditemani oleh seseorang yang begitu Jeno rindukan sembari bergandengan tangan atau berpelukan, menonton matahari terbenam dari pondok kecil di puncak yang mereka sebut sebagai 'Kastil di Atas Bukit'.

Adegan tersebut berganti dengan adegan ketika Jeno berusia lima belas, merokok di ladang belakang rumahnya bersama si Lee yang dengan kurang ajarnya mencuri tembakau milik kakeknya, lalu Jeno mencuri kertas gambar milik kakaknya, merobeknya menjadi empat bagian yang lalu ia gunakan untuk menggulung tembakau dan dibakar, tepat sebelum kakaknya keluar dari pintu belakang untuk memberi makan ayam, memergoki Jeno dan Mark karena asap yang mengepul pekat serta bau tembakau bakar yang menyengat. Jeweran di telinga hari itu takkan pernah Jeno lupakan. Bagaimana kemarahan tercetak jelas di wajah kakaknya, juga omelan khasnya yang terdengar kelewat biasa di telinga Jeno.

Lalu, adegan kembali berganti. Ketika usianya enam belas, Jeno ingat ia pernah berlari melewati kebun belakang milik Paman Ahn bersama Hyunjin, Mark, Woojin, dan Felix. Empat kotak rokok dan empat botol minuman keras ia dekap erat-erat di balik jaket kulit lusuhnya untuk lalu mereka nikmati di pos jaga yang sudah sepi karena tidak ada jadwal jaga malam itu. Mereka pulang dengan keadaan mabuk dan setengah sadar pagi harinya akibat liquor murahan yang mereka curi dari minimarket Paman Bang.

Kaset terus berputar, mengganti adegan ketika Jeno berusia tujuh belas. Ketika itu Hyunjin mengundang ia dan teman-temannya untuk merayakan pesta ulang tahunnya. Saat itu malam Jumat ditengah musim semi yang sejuk, Jeno mengantar pulang salah seorang teman perempuannya yang bernama Siyeon. Mereka sedang menunggu bus ketika Siyeon berdiri merapat padanya dengan alasan udara dingin dan lupa membawa jaket.

Starlit Night - [nomin]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu