9.1. all i can do is say that these arms were made for holding you

616 74 1
                                    

Jeno tidak pernah merasa berdebar sekeras ini sebelumnya.

Debarannya terasa beda, bukan seperti ketika ia gugup untuk memulai dan memimpin rapat para petinggi perusahaan dan pemegang saham. Rasanya seperti ada kembang api yang meletup-letup di dalam dadanya, meraung untuk keluar dan dibebaskan setelah dibelenggu tujuh tahun lamanya.

Jeno baru sadar bahwa ternyata debaran itu adalah debaran kerinduan yang telah mengakar jauh ke dalam batinnya. Jeepnya kini terparkir di halaman rumah yang luasnya masih sama seperti dulu, pagar besi berkarat yang membatasi area luar pun masih sama seperti terakhir kali ia lihat, dan pohon apel yang ia tanam bersama kakaknya sudah tumbuh tinggi menjulang dan berdaun lebat.

Jeno melangkah tergesa melewati halaman rumah, napasnya berderu semangat begitu kakinya menginjak tangga menuju teras depan. Tangannya terasa berkeringat saat menyentuh kenop pintu. Jeno berdebar, rasa rindu dalam dirinya menggedor-gedor ingin keluar.

Ia putar pegangan besi itu dan pintu pun mengayun terbuka. Atmosfer rumah begitu sepi, angin sepoi-sepoi masuk melalui ventilasi. Namun, meskipun begitu, rasanya menghangatkan hati dan menenangkan sanubari.

Jeno melangkah menuju kamar kakaknya, hendak mengetuk pintu kayu tersebut ketika terdengar suara seruan dari halaman belakang.

Pemuda Lee itu buru-buru beranjak melewati pintu belakang, dan benar saja kakaknya ternyata sedang menggiring ayam supaya masuk kandang.

"Aish! Kalian ini kenapa susah sekali diatur!" Protesan lucu dari kakaknya menggema di udara. Jeno terpaku di ambang pintu, memperhatikan sosok kurus dan tinggi itu dengan perasaan menyesal yang amat sangat.

Dengan perlahan dan pasti, Jeno membawa kakinya menuju teras belakang. Kursi dan meja rotan yang biasa menjadi tempatnya dan Taeyong bertukar pikiran masih awet tidak tertinggal zaman. Jeno tersenyum dalam hati. Beribu kenangan yang dijalani bersama sang kakak terasa begitu nostalgia.

Tepat ketika kakinya menyentuh anak tangga pertama, Taeyong menyadari keberadaannya. Ia berbalik cepat dan hampir saja jatuh tersandung pot pakan ayam jika saja ia tidak memperhatikan langkahnya menuju tempat Jeno berdiri.

"Adikku Jeno! Astaga! Kamu pulang?! Betapa aku merindukanmu, sobat!"

Taeyong memeluknya begitu erat, membuat berjuta emosi dan kerinduan menguar dari dalam diri Jeno. Dengan segenap rasa haru yang tersisa, Jeno balas memeluk kakaknya tak kalah erat. Ia tidak berkata apa-apa, lidahnya terlalu kaku hanya untuk sekedar mengucap 'Bagaimana kabarmu?'

"Oh, astaga, benarkah ini kamu, Lee Jeno? Adikku?" Taeyong mengendurkan pelukannya, menangkup wajah Jeno dengan kedua tangan kurusnya yang gemetar akibat buncahan rasa senang yang menerjang. Wajahnya terlihat sedikit memiliki kerutan usia sejak terakhir kali Jeno lihat sedang tertidur damai di kamarnya.

"Halo, Kak."

Hanya dua kata yang mampu keluar dari mulut Jeno sebelum air mata jatuh deras mengalir menuruni pipinya. Ia begitu rindu dengan kakaknya. Kak Taeyongnya, yang mengurusnya sejak kecil karena orang tua mereka telah tiada sejak lama.

Taeyong pun buru-buru membawa Jeno duduk di kursi rotan, namun adiknya itu malah membungkuk di atas pahanya, mengucap banyak kata maaf padanya. Haru membiru menyeruak memenuhi dada dan sampai pada puncaknya begitu air mata juga mengalir menuruni pipi tirusnya.

"Adikku, jangan menangis," Taeyong mengangkat bahu adiknya, mengusap matanya yang basah sembari ia elus pucuk kepalanya.

Inilah yang begitu Jeno rindukan. Perlakuan lembut kakaknya yang selalu jadi kesukaan. Elusan lembut di pucuk kepala, pelukan hangat ketika hari terasa dingin menusuk kulit, bahkan omelan menyebalkan kakaknya yang dulu ia benci sekarang ia rindukan.

Starlit Night - [nomin]Where stories live. Discover now