-❑♡ K A K A K ₊˚.༄ [ Blaze ]

855 111 16
                                    

(n : sedikit panjang)

; maafkan aku–

▭▭▭ ◦ࣱ۪۪̥࣭࣮ࣩࣴ꜆🍂◦ࣱ۪۪̥࣭࣮ࣩࣴ꜆ ▭▭▭

Hah

Hah

Hah

Nafas berderu kencang tidak teratur dari oknum Blaze. Ia menoleh kesamping, melihat jam weker berwarna merah biru.

Masih jam dua pagi.

Dan dia terbangun karna mimpinya, lagi.

Tangannya meraih ponsel genggam yang berada diatas nakas, membukanya.

Tersenyum miris kala melihat wallpaper ponselnya berupa tangannya dan seseorang bertaut.

Lalu menoleh kearah jendela yang memamerkan keindahannya, juga rintik hujan yang mulai membasahi bumi.

Matanya terkunci pada sebuah pigura. Bergambarkan enam saudaranya, juga dirinya. Lalu potongan gambar gadis cantik yang juga turut menghiasi pigura.

Blaze terkekeh pelan, lalu menutup matanya. Mendongak keatas dengan nafas tertahan.

Bayangan sepuluh tahun lalu masih terasa nyata dibenaknya.

Ya, sepuluh tahun yang lalu,

Dimana ia menyaksikan seorang gadis yang memeluknya kala itu menghembuskan nafas terakhirnya bersamaan.

Sepuluh tahun lalu,

Tahun yang benar benar mampu menjatuhkan air mata si tujuh kembar.


Flashback

Suara hempasan barang mampir digendang telinga seorang pemuda SMA tingkat akhir.

Blaze namanya, ia baru saja pulang dari sekolah bersama enam kembarannya yang lain.

Tidak aneh lagi memang, suara hempasan barang dirumah itu sudah biasa.

Wajar. Jika tidak ada hempasan barang, maka tetangga mereka akan bertanya.

Blaze menghela nafas, kala melihat gadis cantik berumur empat tahun lebih tua darinya berjalan menahan sakit dengan kaki yang tampak terbakar.

Blaze menatap itu sebentar lalu beranjak menuju kamarnya. Mengabaikan panggilan sang mama yang meminta mereka semua turun untuk makan.

Tak kunjung turun, Halilintar, sikembar tertua masuk kedalam kamar sang adik.

"Kapan berakhir?"

Pertanyaan Blaze mendapatkan helaan nafas lelah juga usapan rambut dari yang tua.

"Berhenti mikirin pembunuh kaya dia"

Blaze menatap kosong pada luar jendela. Hujan rintik rintik yang airnya mendarat dijendelanya lah yang menjadi pemandangan.

Juga langit senja yang mulai datang dengan tanda sang mentari mulai turun kesisi barat.

Tak lama lagi, waktu favoritenya akan tiba,

Suara genjrengan gitar memasuki telinganya, senyum mengembang lebar dan ia buru buru duduk dikursi yang diletakkan disamping dinding pembatas antara kamarnya juga kamar gadis tadi.

Lantunan suara indahnya mulai terdengar, membuat Halilintar keluar dari kamar sang adik. Membiarkan si merah itu menikmati lagu itu sendiri.

╱̷Boboiboy Book [ oneshoot ]₊˚.༄ Where stories live. Discover now