🏹 : : berry- solar

443 64 13
                                    

Ada Apartemen, yang berhasil menarik perhatian tetangganya.

Salah satu apartement di lantai 14.

Ruang apartementnya sederhana, dan sedikit klasik. Ruangan pertama. Ada Piano putih berdiri di sudut ruangan, langsung di samping jendela yang menampilkan bangunan lain yang sama tinggi sebanyak empat belas lantai, memperlihatkan jalanan yang kecil jika dilihat langsung dari atas sini.

Di sisi kanan, di depan piano itu ada sofa sederhana dan sebuah meja kayu ukiran. Di atasnya ada alat pemutar music. Di sudut yang lain di sebelah sofa, ada ruangan kecil yang merupakan kamar pribadi si pemilik.

Di ruang tengah. Televisi besar yang menempel pun menjadi daya tarik, sebab stiker dan hiasan klasik—lagi—terletak rapi di sekitar benda persegi panjang itu.

Dapurnya sederhana. Hanya ada satu meja bundar dan kursi makan sebagai pelengkap ruang masak itu.

Tapi, bukan itu semua yang memegang tahta tertinggi, hal yang membuat apartement itu menjadi perhatian.

Setiap hari, di pukul delapan malam, akan terdengar suara musik dari sana. Biasanya musik klasik—lagi—namun juga beberapa kali si pemilik mengganti genre lagu.

Penghuninya jarang keluar. Tapi biasanya ada seseorang yang rutin ke apartemen itu membawa bahan masakan dan kebutuhan lainnya. Sekali tiga hari mungkin, seseorang itu datang.

Dan kini, ia berdiri di depan pintu apartement yang tampak nyaman itu. Menghela nafas kecil. Hendak menekan bel, namun panggilan dari tetangga si pemilik apartemen mengambil atensinya lebih cepat.

"Pagi Thorn, seperti biasa ya" tawanya kecil. Thorn balas tertawa. Berbasa basi sedikit, lalu kembali pada niat awal. Ia tekan bel itu, hanya sebagai kode bahwa Thorn sudah datang. Ia masukkan pin apartemen lalu masuk begitu saja. Seolah itu rumahnya sendiri.

"Solar, kakak bawain baha—"

BRUK

Ucapannya terpotong. Mendengar suara jatuh, ia segera meletakkan barangnya di meja depan televisi. Berlari menghampiri asal suara yang berasal dari ruang musik.

Pemuda dengan baju tidur itu terjatuh tak jauh dari piano. Ia menoleh pada Thorn. Tatapannya kosong. Membuat hati yang lebih tua mendadak mencelos.

Solar berdiri. Tak peduli pada kehadiran kakaknya itu.

Solar menghampiri pianonya. Tangan lentiknya memainkan alat musik klasik yang sudah lama tak terpakai—selama ini hanya menggunakan alat pemutar musik. Sembari membersihkan debu yang menempel menggunakan jari jari yang dengan lincah menekan tuts membentuk nada indah.

Suaranya bergumam kecil.

Thorn masih setia di ambang pintu. Mengamati bagaimana menawannya sang adik memainkan alat musik itu, meski masih menggunakan baju tidur.

Seniman musik itu kali ini memainkan musik yang lumayan tenang kali ini. Dan seniman lukis memperhatikan dengan sendu. Dua bersaudara yang merupakan seniman ternama itu kini terhanyut dalam lautan melodi.

Tak lama permainan itu berhenti, berganti dengan suara dari pemutar musik yang memang akan hidup otomatis pukul delapan malam. Thorn melirik jam, lalu menatap adiknya yang juga menatapnya. Seolah mengusirnya. Thorn tidak tersinggung kok, jam 8 malam, memang waktu untuk Solar.

Ia pamit, meninggalkan Solar yang kini mulai berdiri di tengah ruangan. Kakinya melangkah acak seperti berdansa. Tangannya terangkat seolah sedang merengkuh tubuh seseorang, seolah menggenggam tangan seseorang.

Na na na na na na na

Badannya berputar, mengelilingi ruangan. Menggerakkan badan ke kanan, lalu ke kiri. Mengangkat tangan lebih tinggi, seolah memegangi pasangan menarinya yang memutarkan diri.

╱̷Boboiboy Book [ oneshoot ]₊˚.༄ Where stories live. Discover now