48. Dia yang Kamu Butuhkan

9.4K 2.4K 10.1K
                                    

Bagian Empat Puluh Delapan

Tidak ada yang benar-benar menyakitimu, kamu terluka oleh harapanmu sendiri-Gerhana

Sebenarnya memulai untuk mencintai kamu itu tidaklah sulit, yang sulit adalah bertahan mencintai kamu yang sudah jelas mencintai orang lain-Berlin

Sebenarnya memulai untuk mencintai kamu itu tidaklah sulit, yang sulit adalah bertahan mencintai kamu yang sudah jelas mencintai orang lain-Berlin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-Senandi Rasa-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-Senandi Rasa-

Ruangan dengan cat putih itu terlihat begitu senyap, hanya bunyi pengharum ruangan otomatis saja yang berhasil mengagetkan Berlin beberapa kali. Berlin meneguk air ludah kasar, netranya bergerak gelisah. Hingga setelah lima belas menit menunggu, bunyi pintu terbuka menandakan bahwa ada seseorang yang ikut masuk ke dalam ruangan tersebut.

"Berlin ya?" Sosok lelaki yang mungkin seumuran papanya jika masih hidup itu melempar senyum lebar kepada Berlin, lantas tangannya terulur untuk berjabat tangan. "Maaf ya baru bisa ketemu sekarang, mana tadi harus menunggu saya selesai tugas pula."

Berlin menyambut jabat tangan itu. "Nggak apa-apa, Dok."

Lelaki itu lantas mempersilakan Berlin untuk kembali duduk, sedangkan dia terlihat membuka sneli putih yang dia kenakan, mengusap peluh di dahinya, barulah setelahnya dia duduk di hadapan Berlin.

"Mungkin saya perlu perkenalan dulu ya ke kamu. Saya Damar, dokter yang selama ini merawat mama kamu. Mungkin kita pernah tidak sengaja bertemu di restoran beberapa bulan lalu atau mungkin kamu mengenal saya, karena waktu itu saya pernah menelepon mama kamu."

Berlin mengangguk, ingat sekali bahwa dulu dia pernah berpikir bahwa Damar adalah nama lelaki yang selama ini disembunyikan mamanya karena ada hubungan khusus. Seandainya saja Berlin tahu lebih awal.

"Maafin saya waktu itu, Dok."

Damar mengangguk, masih sambil tersenyum tipis. "Saya yang seharusnya minta maaf ke kamu, karena seharusnya saya tidak menuruti kehendak mama kamu untuk menyembunyikan kondisinya dari anaknya sendiri."

Berlin menundukkan kepala.

"Tapi Tuhan selalu adil, ternyata tanpa saya yang memberitahu. Kamu sendiri yang akhirnya tahu itu."

Senandi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang