14. Bey!

29.5K 4K 565
                                    

Bagian Empat Belas

Jika kamu sedang mencintai seseorang yang tidak balas mencintaimu, maka jangan berhenti. Karena kamu tidak akan pernah bisa berhenti secara tiba-tiba untuk mencinta.
Tapi mulailah untuk perlahan mengurangi rasa cintamu, sampai akhirnya perasaan cinta itu terkikis dengan sendirinya, hingga lenyap tak bersisa.

-Senandi Rasa-

"Jadi kita mau kemana?"

"Terserah."

"Makan kan udah, kira-kira lo maunya gimana nih?"

"Terserah."

Gerhana melirik Berlin yang sedang memandang keluar jendela dengan sebelah tangan menumpu kepalanya yang dimiringkan. Ini yang paling tidak disukai Gerhana dari perempuan—kata terserah dari mereka. Menjengkelkan sekali. Kenapa sih harus memperibet urusan di dunia dengan menggunakan kata terserah. Ada banyak loh jawaban lain, selain "terserah"

"Gue bingung, kasih clue kek. Mau makan, nonton, jalan-jalan atau apa?"

"Terserah!" Kali ini Berlin meninggikan suaranya. "Gue bilang terserah ya terserah. Lo mau bawa gue kemana aja, ya terserah lo!"

Gerhana memandang Berlin, cengkramannya pada setir sedikit lebih erat. Ingin sekali ia balas memaki perempuan itu. Ya dia tahu kalau Berlin sedang emosi, tapi tidak perlulah rasanya menjadikan dia sebagai kambing hitam kekesalan perempuan tersebut. Yang punya masalah hidup di dunia ini semua orang, bukan hanya Berlin seorang.

Maka setelah Berlin kembali pada posisi semulanya, Gerhana menghela napas panjang, matanya menatap lurus ke jalanan, Berlin bilang terserah kan tadi. Oke, akan Gerhana turuti kata terserah yang Berlin mau.

Mobil BMW Hitam seri 4 convertible yang dikemudikan oleh Gerhana melaju menyusuri ruas-ruas jalanan di kota Jakarta, dari yang padat merayap hingga akhirnya mulai lancar ketika mobil masuk ke daerah Jakarta Utara.

Mereka berdua sama-sama tidak bicara, bahkan sampai mobil berhenti di Kawasan pelabuhan Sunda Kelapa.

Pelabuhan tidak begitu ramai, suasana di sini seolah menggambarkan Jakarta tempo dulu yang begitu damai tidak seperti sekarang yang begitu menyesakkan.

Gerhana menekan tombol pembuka atap. Tak berapa lama, atap mobil BMW miliknya tersebut sudah terbuka. Matahari yang bersembunyi di balik awan seolah mengizinkan Gerhana untuk menikmati pemandangan di sekitarnya tanpa takut kepanasan.

Berlin yang sadar kemana Gerhana membawanya setelah hampir satu jam saling membisu, akhirnya menoleh kepada lelaki itu.

"Kenapa ke sini?" tanyanya bingung

"Terserah gue dong mau kemana," jawab Gerhana santai, tanpa menatap perempuan itu.

Mobil berjalan pelan menyusuri pinggiran pelabuhan, dari sini terlihat kapal Phinisi, kapal kayu dengan berbagai ukuran sedang bersandar di sekitar pelabuhan. Terletak di jalan Maritim Raya dan merupakan muara dari Sungai Ciliwung, pelabuhan ini merupakan pelabuhan terpenting semenjak abad ke-12, cikal bakal terbentuknya Jakarta dimulai dari pelabuhan ini.

Di sisi barat Kawasan Sunda Kelapa, bangunan tinggi khas apartemen di Kawasan Pluit seolah tegak dan memberikan pemandangan wajah Jakarta tempo sekarang, dua hal yang terlihat bersebrangan dengan Sunda Kelapa. Wajah Jakarta yang begitu berbeda.

Sepanjang jalan, Gerhana terus memperhatikan deretan kapal Phinisi. Beberapa tahun terakhir ini, Kawasan Sunda Kelapa lebih digemari wisatawan asing ketimbang lokal. Hal ini dikarenakan kapal-kapal Phinisi yang merupakan kapal buatan anak bangsa hanya berada di tempat ini. Bahkan beberapa tahun kemarin, diadakan lomba kontes memotret di Kawasan ini, salah satu upaya untuk melestarikan sejarah Jakarta yang mulai tertinggal ini

Senandi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang