36. Cinderella Assegaf

15.9K 3.2K 2.6K
                                    

Bagian Tiga Puluh Enam

Dua kata paling tepat untuk kamu di hidupku, hampir dan mampir. Hampir pernah bersama, hingga sadar bahwa kamu hanyalah sekadar mampir-A

Jika nantinya kita dikecewakan oleh realita, ingat saja saat-saat seperti ini ketika kita pernah bahagia bersama-B

Komen di setiap bagian yak😉😉

-Senandi Rasa-

Berlin menatap bingung sosok wanita yang sedang berdiri di depan rumahnya ini, kedua alisnya masih terangkat. Dia belum pernah melihat sosok ini sebelumnya.

"Maaf ibu siapa?" tanya Berlin dengan suara rendah. Ini masih pukul sembilan di hari sabtu, ketika dia bisa menikmati libur dengan membaca buku atau mengerjakan beberapa tugas kedokteran yang sudah mulai menumpuk.

Wanita itu melempar senyum lebar, tangannya terulur untuk menjabat tangan Berlin. Tapi jelas, Berlin tidak mungkin akan percaya begitu saja, karena dia sering mendengar berita bahwa banyak sekali kasus penipuan berkedok tamu. Sehingga, boro-boro menerima jabat tangan, Berlin masih memandang wanita itu heran.

"Oh iya maaf, Non. Bibi belum memperkenalkan diri, nama bibi adalah Bi Eci, bibi adalah asisten sekaligus pengasuh Den Gerhana dari kecil," jelas wanita paruh baya itu.

Berlin masih memasang tampang bingung. Belum juga kebingungannya hilang, bunyi dering dari ponsel yang digenggamnya membuat Berlin mengerjap dan menatap layar. Nama Gerhana tampil di sana, seolah lelaki itu punya indera ke enam ketika namanya disebut.

Berlin melirik wanita itu sekilas, lalu berkata "Saya angkat telepon dulu, Bu." Dia merasa tidak sopan memanggil wanita itu dengan sebutan Bibi, jadi Berlin menyebutnya dengan Ibu saja.

"Bey, Bi Eci sudah datang?" Pertanyaan Gerhana langsung terdengar setelah panggilannya diterima oleh Berlin.

Berlin tidak menjawab, tapi ekor matanya melirik ke arah wanita yang memperkenalkan diri sebagai Bi Eci tadi, jadi apa yang diucapkan wanita itu benar, karena Gerhana memang menggenalnya.

"Sudah datang kan?" Gerhana terlihat mengulangi pertanyaannya.

"Sudah."

"Oke, kalau begitu, Bey ikut Bi Eci ya," ucap Gerhana menyahut jawaban Berlin.

Kontan Berlin memandang Bi Eci dengan pandangan aneh, bersamaan dengan akhir kalimat Gerhana tadi. "Mau ke mana?"

"Ikut aja, nanti juga bakalan tahu. Tenang Bi Eci itu sudah gue anggap kayak keluarga sendiri, orangnya juga baik."

"Ger, maksudnya apa sih?" Jujur, Berlin masih tidak paham.

Gerhana menghela napas. "Gue sudah bilang kan kalau gue mau ngajak lo ke ulang tahun perusahaan?"

Jelas Berlin masih ingat ajakan Gerhana waktu itu, tapi jujur hingga detik ini Berlin belum pernah menjawabnya sama sekali. Bahkan Berlin pikir Gerhana lupa dengan ajakannya itu, karena selain Berlin tidak memberi jawaban, Gerhana juga tidak mengulangi pertanyaannya.

Kebisuan Berlin membuat Gerhana berkata lagi. "Bi Eci bakalan bantu lo buat tampil malam ini, kalau lo masih nggak ini apa. Anggap aja Bi Eci itu kayak perinya Cinderella yang mau datang ke pestanya pangeran." Terdengar kekehan Gerhana di seberang panggilan itu. "Dan gue pangerannya."

Bola mata Berlin berputar malas. "Suruh balik aja, gue ada kerjaan. Nggak bisa datang malam ini," tolak Berlin langsung.

Bukan apa-apa, datang ke acara seperti ini bagi Berlin seperti sedang bunuh diri. Bukannya selama ini Berlin sama sekali tidak peduli dengan Gerhana, dia peduli, bahkan karena rasa peduli itu, Berlin juga lama-lama mencari tahu mengenai keluarga Gerhana, bisnis keluarganya yang tidak main-main.

Senandi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang