18. Bulan Purnama

21.8K 3.4K 1.2K
                                    

Bagian Delapan Belas

Cuma mau bilang, jangan terlalu jatuh cinta sama Berlin apalagi sama Gerhana. Jangan :)

___

Kamu hanya perlu jujur terhadap perasaanmu, setidaknya  untuk dirimu sendiri—Gerhana

Terkadang, hal bahagia bisa jadi hal yang menyakitkan di kemudian hari, ketika kamu merasa bahwa hal tersebut sudah berubah menjadi kenangan yang tak akan kembali—Berlin

-Senandi Rasa-

"Pagi, Bey."

Berlin melongo kaget, menemukan Gerhana berpenampilan rapi dengan senyum seklimis mungkin berdiri tepat di depan ambang pintu.

Melihat Berlin masih tercengang, tawa Gerhana sontak terdengar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Melihat Berlin masih tercengang, tawa Gerhana sontak terdengar.

"Secakep itu ya gue?"

Barulah pada ucapan itu, Berlin jadi tersadar. Dia kaget bukan karena Gerhana cakep, idih. Berlin kaget karena sekarang masih pukul setengah enam, matahari saja masih malu-malu menampakkan diri mungkin juga karena hujan mengguyur Jakarta semalaman, udara masih terasa begitu dingin. Dan Gerhana, mengagetkannya dengan kedatangan lelaki tersebut.

"Lo mau ngapain?" tanya Berlin masih dengan tampang bingung.

Bahu Gerhana bersandar pada dinding, ia melirik Berlin yang masih berpenampilan orang bangun tidur. Beda sekali dengan dia yang sudah sangat rapi. Kalau mereka berdiri sebelahan seperti ini, mirip majikan dan babu.

"Mau nyulik lo," sungut Gerhana.

Alis Berlin terangkat tidak paham.

Sontak, Gerhana menoyor pelan dahi Berlin dengan telunjuknya.

"Buruan mandi, gue mau ngajak lo minggat."

Berlin masih bingung. Sehingga, Gerhana menarik napas dalam-dalam. "Ini udah akhir tahun, liburan semester. Gue mau ngajak lo pergi, hitung-hitung karena sebelum pacaran kita nggak sempet PDKT. Kita punya enam hari."

"Lo gila?"

"Iya, gila. Makanya, lo mesti nurut." Gerhana melongokan kepalanya ke dalam rumah, "Lo sendiri?"

Berlin menggeser tubuhnya, berusaha mencengah Gerhana untuk menjelajahi isi dalam rumahnya. "Nggak, rumah gue rame sama peliharaan." Dia menghela napas pendek. "Mending, lo pergi aja. Gue nggak berminat untuk kemana-mana akhir tahun ini, terlebih sama lo."

Gerhana berdecak, begitu mudah baginya untuk mendorong Berlin untuk menjauh dari pintu. Tanpa izin, ia melangkah masuk ke dalam rumah tersebut. Ini kali ketiga Gerhana ke rumah tersebut dan selalu saja sepi seperti ini.

Meskipun baru tiga kali, Gerhana jelas menghapal sudut rumah tersebut. Rumah itu tidak sebesar rumahnya, jadi Gerhana dengan mudah menghapalnya. Langkah Gerhana terus menapak menuju kamar Berlin.

Senandi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang