5. Cerminan Mama

25.3K 3.9K 392
                                    

Bagian Lima

Padanya yang sudah berlalu tanpa kata pamit di akhir cerita, terima kasih karena pernah membuatku bahagia—Bellazmr

-Senandi Rasa-

Sepuluh hari terakhir, Berlin sangat sibuk. Dimulai dari tugas kampus, praktikum berbagai mata kuliah, sampai persiapan Randi untuk maju mewakilI Fakultas Kedokteran sebagai Ketua BEM Universitas Indonesia.

Hari ini, kegiatan Berlin tidak jauh berbeda. Sekitar pukul setengah tujuh, dia sudah rapi dengan setelan dress batik dan sengaja untuk hari ini rambutnya dikuncir satu.

Kondisi di rumah sepi, mengingat Berlin hanyalah anak tunggal dari kedua orang tua yang sibuk bekerja—papanya bekerja sebagai kepala HRD di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang material, sedangkan mamanya memilih untuk membuka usaha toko kue yang diberi nama dengan B'Bakery.

Namun seperti hari-hari sebelumnya, sebelum memulai aktivitas, Berlin akan sarapan bersama dengan kedua orang tuanya.

Lian, mama Berlin duduk di hadapan Berlin setelah menuangkan teh hangat untuk papa. Saat melakukan itu, manik mata Berlin tidak berpindah dari mamanya yang selalu setia berekspresi datar. Berbanding terbalik dengan papa yang periang, mama cenderung pendiam.

"Gimana Lin kampusnya, aman aja?"

Pertanyaan itu mengagetkan Berlin, kontan ia langsung menoleh ke arah Anda Heng Soekotjo—papanya.

"Aman, Pa."

Anda menganggukan kepala sambil menikmati sarapan pagi, Anda terus mengajak Berlin berceloteh. Dari mulai membahas materi kuliah yang membuat Berlin sering begadang, praktikum, bahkan hingga ke kisah percintaan Berlin. Saat menyangkut kisah percintaan, Lian yang sejak tadi fokus menghabiskan sarapannya, perlahan mendongakkan kepala.

"Jangan pacar-pacaran dulu," celetuk Lian. "Pacaran hanya bikin kuliah kamu terbengkalai, fokus saja dulu kuliah. Jalan juga masih panjang, lulus kuliah saja masih banyak yang harus dijalani. Hidup nggak melulu tentang cinta."

Ucapan yang terdengar menginterupsi itu berhasil membuat Anda dan Berlin sama-sama menoleh ke arah Lian, wanita itu ternyata sudah kembali menekuri kegiatan sarapannya. Tak lagi berusaha untuk bicara.

Tawa meledek Anda terdengar. "Jangan serius-serius bangetlah, Ma. Berlin bisa stres kalau cuma belajar dan belajar. Iya kan, Lin?"

Dibandingkan menjawab pertanyaan papanya, Berlin lebih tertarik menebak isi pikiran mamanya yang kembali diam.

Delapan belas tahun ini, mamanya memang selalu seperti itu—selalu bicara seperlunya, jarang tersenyum, dan kadang-kadang kalau Berlin ingat, ia belum pernah duduk berdua dengan mamanya membahas sesuatu yang mendalam. Misalnya kehidupan pertemanan Berlin, kisah cintanya, atau bahkan bagaimana menstruasi pertamanya terjadi.

Dulu sekali saat Berlin masih SMP. Ia sering mendengar cerita teman-temannya yang bercerita bahwa menstruasi pertama mereka selalu dibimbing oleh ibu mereka, entah mengenai pembalut yang dipakai, cara meredakan sakit datang bulan, bahkan ke hal-hal sederhana seperti batasan antara laki-laki dan perempuan.

Namun setelah diputar balik, Berlin tidak melewati menstruasi pertamanya dengan mama. Sifat mamanya terlalu cuek.

Berlin mengerti, kegiatan Lian  super sibuk, ia sering bolak balik Jakarta-Bandung, karena selain di Jakarta, mamanya juga membuka cabang toko kue di Bandung. Lian sering melewatkan banyak hal di hidup Berlin, ulang tahun berlin, acara pengambilan rapor, atau jangan-jangan memang hampir selama ini Berlin tidak pernah dekat dengan mamanya. Entah lah, mamanya terlalu sukar ditebak.

Senandi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang