3. Sebuah Harga Mahal

30.1K 4.2K 279
                                    

Bagian Tiga

Akan ada yang datang, kemudian pergi
Patah, lantas tumbuh lagi
Hancur, dan kemudian terbentuk kembali
berulang-ulang, hingga akhirnya manusia menyadari bahwa di dunia ini tak ada yang pernah benar-benar abadi.

-Senandi Rasa-

Oktober, 2019.

"Pusing kepala gue, blok semester ini kayak bikin kejang-kejang tiap hari." Tania, perempuan dengan rambut dikuncir satu tanpa poni itu menelungkupkan kepalanya di atas meja, tepat setelah dokter yang mengampu mata kuliah Kardiovaskuler meninggalkan kelas.

Sari yang duduk di samping Tania menghela napas berat sambil memasukkan kertas berisi kuis dadakan sebelum pelajaran dimulai tadi ke dalam tasnya. "Enam puluh. Nilai segitu di kelas Kardio sudah bikin gue sujud syukur, sumpah."

Dua sahabat itu kemudian melanjutkan keluh kesahnya mengenai mata kuliah yang mempelajari seluk belum penyakit jantung tersebut. Tanpa terasa, ruangan kelas hanya menyisakan mereka bertiga saja. Yap, satu lainnya dari mereka berdua adalah Berlin, gadis berwajah chinese itu sama sekali tidak berbicara semenjak tadi dan sibuk membereskan bukunya.

"Lin, bagi tips dong gimana cara pintar?" Tania tiba-tiba saja menodong Berlin dengan pertanyaan itu. Manik matanya menatap Berlin penuh harap.

Kontan, gerakan Berlin yang merapikan buku berhenti. "Tips pintar?" tanyanya bingung.

"Iya. Lo mah Lin, pintar tuh bagi-bagi," sambut Sari. "Di saat semua anak kelas nilainya hancur-hancur, lo sendiri yang dapat seratus. Sumpah, otak lo terbuat dari apa sih?"

Berlin menggelengkan kepalanya, geli dengan pernyataan Sari tadi. Memang benar sih, tadi saat kuis dadakan dia mendapat nilai seratus dan jadi bahan pujian Dokter Tanto—pengampu mata kuliah Kardiovaskuler yang biasanya paling malas berbasa-basi.

Bukan lagi rahasia, bahkan dari senior-senior kedokteran umum lainnya sering mengatakan bahwa Dokter Tanto adalah dosen yang paling sering kuis dadakan, paling sering memberi nilai rantai karbon, dan paling sering juga marah-marah di kelas. Sayangnya, semua ketakutan itu berhasil ditepis oleh Berlin yang berhasil mendapatkan nilai seratus tiga kali berturut-turut di setiap kuis dadakan yang Dokter Tanto adakan.

"Lo pas kecil nyemil buku ya? Gedenya bisa jenius kayak gitu?" Tania menebak.

"Atau pas kecil, lo minum minyak ikan mulu makanya pas gede otak lo mulus berpikirnya," celetuk Sari menambahkan.

Tawa renyah mengalun dari bibir Berlin sembari kepalanya menggeleng geli atas pernyataan yang diberikan kedua sahabatnya itu.

"Gue nggak nyemil buku kok, nggak minum minyak ikan juga."

"Terus kenapa pinter banget sih Lin, sumpah ya abang gue aja pernah bilang kalau dapat nilai seratus sama Dokter Tanto itu ibarat berenan di Selat Sunda, saking susahnya. Dan lo, tiga kali berturut-turut dapat nilai seratus, hattrick," ujar Sari.

"Kebetulan aja. Mungkin gue lagi ketiban hoki."

"Hoki tuh kalau lo dapat seratusnya cuma sekali," celetuk Tania. "Kalau berkali-kali, itu namanya lo jenius."

Berlin tertawa sekali lagi, bukan apa-apa, hanya saja sebenarnya ia tidak terlalu suka jika sahabatnya seolah membanding-bandingkan dirinya dengan mereka. Semua itu, hanya akan membuat Berlin merasa tidak enak karena dianggap berbeda.

"Dahlah yok, dibanding bahas nilai yang nggak ada ujungnya. Mending kita cabut aja," kata Berlin berusaha mengalihkan.

-Senandi Rasa-

Senandi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang