4. Ilusi Sang Penyakit

29.1K 4K 349
                                    

Bagian Empat

Di antara hari-harimu yang lelah.
Pada setiap keputusasaan yang membuatmu ingin menyerah.
Pun ketika kamu merasa tidak ada jejak yang bisa kamu jadikah arah.
Berhenti sejenak, cobalah.
Menoleh ke belakang dan lihatlah sudah sejauh apa kamu melangkah.

Semua jalan yang telah kamu lalui, bukan tanpa arti, semua jelas memiliki makna tanpa kamu sadari.
Sekalipun kamu merasa, bahwa semua yang kamu coba raih masih sekadar mimpi.
Tak apa ... sebab sudah melangkah sejauh itu sudah membuatmu menjadi lebih berarti.
Karena sesungguhnya, letak keberhasilan bukan berada di puncak tertinggi, melainkan seberapa banyak pelajaran yang kamu petik dari setiap langkah yang kamu miliki.

-Senandi Rasa-

Dengan kedua tangan yang menopang dagu, Berlin memperhatikan Tania yang sedang terburu-buru menyalin tugas miliknya. Sebenarnya, sudah dari seminggu yang lalu tugas mata kuliah tumbuh kembang itu diberikan sebagai penganti Dokter Ridwan yang berhalangan hadir.

Nah, karena Tania pikir tugas itu tidak dikumpul. Dia lantas mengabaikan tugas itu. Dan baru lima belas menit yang lalu, ketika Dokter Ridwan selesai memberikan materi, Dokter Ridwan menagih tugas tersebut.

Tania kontan panik. Beruntung sebelum mengumpul tugas, Tania menyempatkan waktu untuk memotret tugas Berlin untuk disalin.

Berlin menghela napas panjang, sambil mengalihkan pandangannya dari Tania. Bukan ia tidak suka jika tugasnya disalin, hanya saja selama ini Tania sering kali mengabaikan sesuatu yang sebenarnya penting. Padahal, Tania harusnya paham bahwa mereka itu kuliah kedokteran, yang dari jaman nenek moyang pun sudah tahu jika kedokteran itu sulit. Tugasnya banyak, praktikumnya seabrek, belum lagi pasca lulus—masih panjang sekali perjalanan.

"Ah kelar!" Tania berseru senang sambil mengangkat tinggi-tinggi kertas miliknya. "Gue harus cepat nih naruhnya di meja Dokter Ridwan, kalau nggak bisa kosong nilai gue," seru Tania.

Tania segera berdiri dari posisinya tadi, lalu menatap Berlin yang sejak tadi setia menunggunya.

"Ber, gue ke ruang dosen dulu ya. Nitip tas bentar," kata Tania.

Tanpa mendengar jawaban Berlin. Tania, si perempuan yang kembali menguncir satu rambutnya tanpa poni itu  berlalu. Meninggalkan beberapa buku, peralatan tulis, dan lembar-lembar binder yang berantakan di atas meja taman Kampus Salemba.

Berlin mengembuskan napas panjang, kepalanya menggeleng dan mulai membereskan semua peralatan Tania. Sahabatnya yang satu itu memang luar biasa ceroboh. Kalau dipikir-pikir, untuk seorang Berlin yang biasanya hanya berteman ala kadarnya—karena kebanyakan waktunya hanya habis untuk bimbingan belajar di luar sekolah, bersahabat dengan Tania dan Sari adalah salah satu pencapaian dalah kehidupan pertemanannya.

Selesai membereskan semua perlengkapan. Berlin memilih untuk membuka ponselnya. Membunuh rasa sepi dan bosan, apalagi karena Sari harus pulang duluan membuat Berlin akhirnya memilih untuk membaca jurnal saja, selama menunggu Tania.

"Kolera? Bacaan lo siang hari panas gini berat banget sih."

Refleks, suara yang mengalun tepat di telinga Berlin itu membuatnya menoleh. Manik matanya berkedip dua kali melihat sosok laki-laki dengan kumis tipis yang terlihat cukup rapi itu sedang menyengir di sebelahnya, memperlihatkan giginya yang rapi.

"Eh Bang Randi, bukannya habis kelas mau ke kantin?"

Randi Bachtiar—sebuah nama yang sebenarnya sangat mirip dengan suami seorang artis. Tapi Randi yang kini duduk di sebelah Berlin, bukan Randi yang itu. Melainkan, ketua BEM fakultasnya atau istilah kerennya tuh Gubernur Mahasiswa, yap, Randi Bachtiar.

Senandi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang