39. Dunia Bukan Milikmu Saja

21.3K 3.4K 2.4K
                                    

BAGIAN TIGA PULUH SEMBILAN

"Apa kamu percaya, bahwa mungkin saja aku juga menyukaimu, bahwa mungkin saja aku juga memiliki rasa yang sama dengamu. Hanya saja kamu sulit untuk menerima kenyataan itu."-A

Aku memilih bertahan karena aku tahu meninggalkan di saat masih memiliki perasaan itu, bukan solusi dari hubungan kita-B

-Senandi Rasa-

Semua resiko semenjak semua orang tahu bahwa dirinya bersama Gerhana sudah Berlin perhitungkan matang-matang, semua sudah terlanjur jadi, maka yang perlu Berlin lakukan hanyalah melewati.

Seperti saat ini, meskipun tidak seperti sebuah film di mana hampir semua mata menatap ke arahnya. Berlin tahu dan sadar ada beberapa manik mata yang sedang memperhatikannya. Sesantai mungkin, Berlin memilih untuk tidak peduli dan terus melangkah untuk sampai ke ruang kuliahnya.

Entah pada langkah yang ke berapa, dari arah belakang seseorang merangkul bahu Berlin dengan agak kasar.

"Lo benar-benar hutang penjelasan sama gue, Ber." Wajah Tania tertekuk masam, menatap Berlin dengan kedua alis terangkat.

Berlin menghela napas. Tak lama setelah kehadiran Tania, Sari ikut menyusul dan mereka berjalan bersisian dengan Tania yang berada di tengah-tengah, kepala Tania menoleh pada Sari dan Berlin.

"Wah kacau, kenapa cuma gue sendiri sih yang nggak dikasih tahu?" gerutu Tania tampak kesal, karena melihat Sari yang sama sekali tidak kaget.

Sari meringis, menatap Berlin dan Tania dengan wajah tidak enak. "Sorry ya, Tan. Gue cuma ngerasa itu hak Berlin buat bilangnya kapan."

Tania melepas rangkulan tangannya pada bahu Berlin, tangannya terlipat di depan dada dan ia melangkah duluan, meninggalkan kedua sahabatnya itu.

Sekali lagi, Berlin mengembuskan napas.

"Ber," panggil Sari.

Berlin mengangguk. "Gue sebenarnya sudah ada rencana bilang sama Tania, cuma kalah cepat dari acara itu."

Sari mengusap bahu Berlin.

"Kejar Tania aja, Sar."

"Lo?" Sari menatap Berlin bingung.

Berlin mengangguk. "Gue nggak masalah. Lagipula kalian kan sekelas, gue nggak. Gue bisa sendiri."

Sari ikut mengangguk, mengusap bahu Berlin sekali lagi dan akhirnya berlalu meninggalkan perempuan tersebut sendirian. Selepas kepergian Sari, Berlin memilih melangkahkan kakinya menuju ruang belajarnya.

-Senandi Rasa-

Gerhana baru sampai di ruang Sekretariat BEM, tidak ada seorang pun yang menyadari kehadiriannya, karena semua tampak sibuk duduk melingkar dan heboh membahas sesuatu.

"Gila, gue pikir Berlin itu gebetannya Bang Randi, secara soalnya pas Kak Kayana sidang kan, Kak Randi ngajaknya Berlin. Kaget dong, pas tahu ternyata yang pacaran sama dia malah Bang Gerhana."

Bersandar pada pintu di sampingnya, Gerhana mendengarkan obrolan yang sedang membahasnya itu dengan jelas.

"Sejarah banget, bertahun-tahun gue tahu Bang Gerhana, dia tuh selempeng itu sama cewek," celetuk salah satu perempuan yang terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mau banget gue jadi Berlin, siapa sih yang nggak mau sama Bang Gerhana? Asli mana Bang Gerhana jadi pewaris kan?"

"Gue nggak paham lagi sih, Bang Ger-"

"Bang Gerhana apa?" celetukan itu berhasil membuat semua suara itu berhenti. Sosok yang baru saja menyeletuk itu menjadi perhatian.

Senandi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang