Sapu Tangan Hijau

59 8 6
                                    

-BASWARA POV-

Jikalau ada satu hal yang bisa aku minta sama Allah, aku akan minta untuk tidak dilahirkan ke dunia. Baik dari rahim Mama ataupun Bunda. Bagiku, keduanya sama menyakitkan. Realitanya, kedua hal tersebut tetap menumbuhkan luka di hatiku. Seandainya, aku terlahir sebagai anak Bunda, pun, aku akan tetap bersedih. Bunda pergi meninggalkanku. Lalu jika aku tetap jadi anak Mama, ahh... sudahlah jangan ditanya lagi akan seperti apa endingnya, aku sudah bisa menebak.

Waktu aku kecil dulu, aku sering sekali bertanya hal aneh pada Bunda, Kak Kinan dan Mas Jaaiz, salah satunya mengapa aku harus lahir ke dunia. Waktu itu, Kak Kinan dan Mas Jaaiz kesulitan untuk menjawab.

Lalu pada saat malam menjelang, Bunda diam-diam masuk ke kamarku, dia berbaring di sampingku sambil menutup tubuhku dengan selimut dan dekapannya. Bunda bilang, "semua ada artinya Baswara. Karena kamu spesial makannya Allah ciptain Baswara." saat itu aku kelas 1 SD. Masih terlalu polos untuk menelan ucapan Bunda mentah-mentah. Bunda bilang kita harus banyak bersyukur. Waktu itu mungkin terasa lebih mudah karena ada Bunda bersamaku.

Aku juga sering bertanya siapa ayahku. Ketika dengan Mama aku tidak bisa mengenali sama sekali siapa sosok ayahku karena dia membawa terlalu banyak lelaki ke rumah dan dia selalu bilang tidak ada diantara salah satunya yang menjadi ayahku. Ketika aku hidup bersama Bunda, pun, demikian. Bedanya, Bunda bilang ayahku sudah di surga.

Biarpun aku tidak punya ayah yang bisa aku sentuh dan aku suarakan namanya, Bunda bilang aku punya Mas Jaaiz. Dia sudah seperti pengganti ayah. Aku hanya mengangguk saja kala itu dan menganggap semuanya baik-baik saja, yaa... karena Bunda masih ada di sisiku dan aku hidup jauh dari jangkauan Mama.

Namun, waktu berjalan tanpa mau berputar arah sekalipun, aku tidak bisa menghentikan lajunya. Semua terjadi begitu cepat. Kepergian Bunda, kedewasaanku, dan pernikahan Kak Kinan. Pikiranku berubah, mungkin Tuhan mengijinkan aku lahir hanya untuk menangis. Atau mungkin di kehidupan sebelumnya aku penuh kekeliruan, mungkin juga di hidupku selanjutnya hanya akan ada kesenangan. Aku tidak tahu, aku tidak bisa lagi menebaknya.

Aku tidak bisa lagi memprediksi apa yang akan terjadi dalam hidupku saat Bunda sudah berada di liang lahat. Rasanya sakit, berjuang sendiri, kau tidak tau 'rumah' mana yang harus kau singgahi. Meski orang-orang bilang ini adalah 'rumah' yang layak aku tempati, terkadang aku tidak merasa seperti itu, ada saat-saat aku merasa asing dan tidak berhasil menemukan dimana 'rumahku', dan kemana aku harus singgah.

Perkataan-perkataan yang mengoyakku tempo hari masih membekas. Bahkan saat Kak Kinan dan Mas Teguh menyelesaikan acara mereka, aku harus mati-matian menahan rasa sakitku, meskipun aku juga bahagia melihat Kak Kinan bahagia. Tapi saat menatap Kak Kinan dan Mas Jaaiz, aku bergumam dalam hatiku, apakah mereka 'rumahku' yang sesungguhnya? Apakah iya?

"Baswara, kok diluar sendirian malem-malem? gak dingin?"

Aku tersentak, lebur semua lamunan dan isi kepalaku yang tengah berkelana. Melihat Mas Jaaiz dengan dua cangkir teh hangat di genggamannya. Sejurus dia memposisikan dirinya duduk di sampingku. Di atas lantai keramik beranda rumahnya.

"Hehe, iya mas adem," aku berkilah, malas mencari alasan lain.

"Mikirin apa lagi sih?" Mas Jaaiz menaruh satu cangkir di depanku, sedang dia menyeruput miliknya.

"Banyak Mas," jujurku pada akhirnya.

"Mau cerita sama Mas?"

Aku mengangguk, tapi belum berani menatapnya. Sedikit menelan air liurku guna mengusir rasa kalut, atau justru malah menunjukkannya.

Elegi BaswaraWhere stories live. Discover now