Titik Balik

33 8 8
                                    

-BASWARA POV-

Sudah lama sekali setelah aku melihat Bunda terakhir kali. Waktu itu tubuhnya penuh selang, matanya terpejam dan sudah tidak bergerak. Aku pikir itu kesempatan terakhir kali bisa memandang Bunda lagi. Tapi ternyata aku salah, nyatanya sekarang Bunda dihadapanku, berdiri sambil tersenyum. Bunda kelihatan lebih cantik, wajahnya juga bersinar.

Aku tidak tahu sedang dimana kita berada, semuanya terlihat putih dan sejujurnya aku tidak terlalu mempermasalahkan itu. Mungkin karena rindu yang aku tabung sejak lama, kondisi sekitar tidak aku perhatikan, aku hanya mampu melihat Bunda yang sekarang sudah melambaikan tangannya ke arahku.

Aku menurut, lari kedalam pelukan Bunda dan mencium aroma tubuhnya yang wangi. "Bunda, kangennn.." rengekku padanya.

"Bunda juga kangen Baswara," ucapnya, yang kemudian mengajakku duduk melantai. Bunda mempersilahkan aku untuk berbaring diatas pahanya, aku tentu gak mau menyia-nyiakan kesempatan. Dengan begini, aku bisa lihat wajah Bunda yang terus tersenyum.

"Bunda.. gak sakit lagi?" Bunda menggeleng menjawab pertanyaanku.

"Bunda.. Baswara boleh ikut Bunda?" Bunda gak menjawab, dia malah menghela nafas panjang.

"Babas, mau Bunda kasih tau sesuatu gak?"

"Apa?"

"Bunda belum pernah cerita ini sama Baswara,"

"Cerita apa Bunda?"

Pandangan Bunda mulai mengawang, seperti mencoba mengumpulkan memori dari masa lalu. Sementara tangannya menyisir halus rambutku.

"Dulu, sebelum ada Baswara, Bunda punya adik kecil. Tapi ada di sini," Bunda menunjuk ke arah perutnya, dan aku langsung mengerti apa yang Bunda maksud.

"Kak Kinan, sama Mas Jaaiz masih sekolah. Terus Ayah, wak..-"

"Ayah?" aku memotong ucapan Bunda.

"Iyaa, Ayahnya Mas Jaaiz sama Kak Kinan," katanya Bunda dan aku mengangguk.

"Ayah dulu kerjanya tentara. Waktu itu ada perang saudara, Ayah lagi bertugas tapi kakinya kena tembak, terus ulu hatinya rusak. Semenjak itu Ayah gak bisa kerja lagi, gak lama abis itu Ayah pergi ke surga. Bunda sedih, saking sedihnya Bunda kehilangan adik kecil itu. Bunda udah gak muda, dan adik kecilnya gak bisa bertahan lama. Dua kali ya Bunda sedih?" Aku melihat Bunda, tapi sama sekali Bunda gak terlihat mau menangis tuh. Wajah Bunda benar-benar teduh.

"Terus gak terasa aja udah setahun, dua tahun, bertahun-tahun Bunda masih sedih dan nyesel."

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Kalau aja Bunda waktu itu rawat Ayah baik-baik, rawat adik kecil baik-baik, Bunda gak bakal sedih dua kali. Tapi Baswara tau gak?"

"Apa Bun?"

"Allah kasih gantinya. Malem-malem, waktu itu hujan, Bunda denger ada yang nangis. Bunda liat lewat jendela, aduhhh... wajahnya yang ganteng, lucu itu nangis, bajunya basah kena air hujan. Bunda gak tega, terus akhirnya Bunda ajak masuk anak itu. Baswara inget kan, setelah itu Bunda sama-sama terus bareng Baswara. Allah kasih hadiah Baswara sebagai gantinya."

"Tapi Baswara dibuang Mama, bukan hadiah." Aku kurang suka cerita Bunda kali ini. Itu adalah cerita dimana aku diacuhkan Mama.

"Bas.." Bunda mengelus pipiku lembut, mungkin mengantisipasi jika aku menangis.

"Kamu juga hadiah buat Mama kamu."

"Gak, aku bukan!"

"Nggak begitu, nak. Saking sayangnya Mamamu sama hadiahnya, dia gak mau hadiahnya rusak atau terluka."

Elegi BaswaraWhere stories live. Discover now