Pulang Malu, Tak Pulang Kelu

23 8 0
                                    

Senin yang sibuk, lorong panjang ini terlihat lenggang. Aroma obat yang khas menguar di sekitar area. Perawat yang terlihat, ramai dengan tugas mereka masing-masing. Beberapa berlalu lalang dengan menggandeng infus, seorang perawat lelaki sigap mendorong tabung oksigen, dan sekelompok lainnya berjalan panik menuju kamar operasi.

Larasati duduk seorang diri di depan ruang jaga, bukan untuk berobat, bukan juga untuk membesuk orang sakit, melainkan untuk bertemu Kinara.

Pagi-pagi sekali dia sudah meninggalkan Baswara sendirian, malu bertatap muka dengan anaknya karena kejadian memalukan semalam. Tidak memalukan seharusnya, karena Laras memang berprofesi seperti itu, tapi disaksikan oleh anak bujang semata wayangnya membuat rasa segan muncul ke permukaan.

Hari ini harus dia tanyakan apa yang mendasari Baswara menghampirinya, apa yang membuat anak satu-satunya yang sangat membencinya itu justru pulang menemuinya. Larasati tau apa yang dialaminya janggal. Baswara seharusnya berada jauh dari radarnya, tidak boleh terjamah kehidupannya.

Tapi sore hari sepulang dirinya membeli kudapan, dia menemukan Baswara. Anaknya itu tidak menghindar, justru bermalam di kediamannya. Larasati bukan tidak senang, dia girang bukan kepalang melihat wajah anaknya dalam pandangannya lagi. Tapi Baswara tidak seharusnya bersama sosok Ibu yang durjana. Baswara seharusnya tidak pulang ke apartemennya.

"Bu, boleh masuk silahkan. Bidan Kinara udah mempersilahkan," Perawat yang datang dari balik pintu berucap, seraya mempersilahkan Larasati masuk dan meninggalkannya berdua karena urusan privacy.

"H--hai.. Kinan," sapa Laras terbata.

"Assalamualaikum Mbak, duduk aja."

"Ahh, iya waalaikumsalam, maaf. Makasih Kinan." Rasa canggung melingkupi Larasati, dia duduk di sofa panjang berhadapan dengan meja kerja Kinara, menyaksikannya sebentar merapikan dokumen dan menyusun beberapa botol obat-obatan yang Larasati tidak ketahui jenisnya. Wajar saja, karena Kinara adalah seorang kepala bidan rumah sakit bersalin.

"Maaf ya Kinan, saya gak maksud ganggu kamu."

"Gak apa-apa kok Mbak, aku juga ada yang mau diomongin sama Mbak." Kinara bergegas, lalu melepas jas dokternya kemudian menyampirkannya di bangku. Dia menghampiri Larasati seraya duduk disebelahnya.

"Mbak apa kabar?" Kinara tersenyum lalu memeluk tubuh Larasati yang kaku karena terkejut.

"Ba--baik kok. Kamu apa kabar?" ucap Laras basa-basi.

"Yahh, gini aja. Baik-baik aja."

Larasati mengangguk, lalu keheningan menyatu bersama detak jam, mereka terhanyut dalam pikiran masing-masing. Ragu-ragu untuk berucap. Larasati yang gelisah terlihat memainkan jari-jari kukunya yang berkilau, hasil dari perawatan manikur. Tapi sedetik kemudian lengan Kinara menggenggam jemarinya yang bertautan. Laras yang bingung mengangkat wajahnya, menatap Kinara yang sedang tersenyum.

"Baswara ada sama Mbak kan? dia baik-baik aja kan?"

Larasati sedikit terkesiap, tapi kemudian dia mengangguk mantap. "Tenang aja Kinan, nanti saya bujuk dia buat pulang." Kinara menggeleng lemah, ada segaris senyum getir yang tidak begitu nampak di wajahnya.

"Gak usah Mbak, Baswara pasti gamau pulang kesini sementara waktu. Aku minta tolong Mbak, biarin Baswara di sana sampai dia mau aku bujuk pulang."

Satu waktu, Larasati pernah hampir menyesal meninggalkan Baswara sendirian di tengah hujan. Menyesal karena takut Baswara semakin tidak diinginkan, menyesal karena anak lucunya takut menerima penolakan. Tapi itu dulu, saat Baswara berumur tiga tahun dan Laras yakin dia tidak akan menjadi Ibu yang baik, sampai saat ini pun dia tidak yakin bisa menjadi Ibu yang baik.

Elegi BaswaraWhere stories live. Discover now