Katanya, Ini Rumah

52 9 2
                                    

"Ini tinggal menunggu hari. Bayanganmu tak tampak lagi.
Semua tak akan sama, saat aku bersamanya." (Ardhito Pramono - Bila)

~~~


Dulu, mungkin sekitar dua atau tiga tahun yang lalu, aku memutuskan untuk mulai kerja part time di salah satu kedai kopi. Waktu itu Deri mengantarku dan mengenalkanku pada satu temannya, namanya Juna.

Hendri sudah lebih dulu terjun ke dunia part time, bahkan semenjak kami duduk di bangku semester pertama. Dengan inisiatif, aku bertanya pada Deri, barangkali ada pekerjaan yang aku bisa lamar, walau hanya bekerja dua kali dalam seminggu.

Aku merelakan waktu akhir pekanku untuk bekerja. Bukan karena apa-apa. Saat itu, beberapa minggu setelah Mas Teguh melamar Kak Kinan. Aku secara tidak sengaja mendengar percakapan mereka di malam hari, mungkin mereka pikir aku sudah tertidur, tapi rasa haus yang teramat sangat memaksaku bangkit dan tidak sengaja menangkap percakapan keduanya.

Kurang lebih mereka bilang "Kita jangan boros-boros mulai detik ini," itu Mas Teguh yang berucap. "Aku mau bantuin kamu Mas, nabung juga. Ya, aku sadar kok pihak perempuan juga harus ada pegangan kan?" yang ini, Kak Kinan yang berucap.

Aku langsung berpikir, mungkin bisa sedikit meringankan beban Kak Kinan. Selama ini Kak Kinan dan Mas Jaaiz tidak pernah lalai untuk urusan biaya hidup dan pendidikanku. Aku tidak tau seberat apa bagi mereka menjalaninya. Kami tidak ada orang tua, Ya.. setidaknya aku merasa seperti itu juga, walau ada Mama. Aku tidak merasa Mama menafkahiku.

Setidaknya, jika aku sudah punya sedikit penghasilan bisa meringankan beban Kak Kinan dan Mas Jaaiz, walaupun sekedar untuk memenuhi uang semesteran atau beli sepatu baru. Aku tidak begitu membebani mereka, lagipula aku sudah besar, pikirku.

Waktu awal-awal aku memberitahu keputusanku ini pada Kak Kinan dan Mas Jaaiz, keduanya hampir protes. Mereka bilang supaya aku fokus untuk kuliah dan belajar, biar mereka yang mengurus semua kebutuhan.

Aku tidak berbicara kalau aku mendengar pembicaraan Kak Kinan dan Mas Teguh demi menjaga perasaannya. Lagipula kalau dipikir-pikir, saat Mas Jaaiz kuliah kedokteran, dia bekerja paruh waktu selain mengandalkan beasiswa dan uang saku dari pihak universitas. Waktu Kak Kinan sekolah keperawatan, hampir tiga kali dalam seminggu setelah kelasnya dia pergi ke toko kue, tempatnya juga bekerja part time membuat kue kering untuk pesanan jualan selama dua tahun lamanya, apalagi kalau bukan untuk memenuhi biaya hidup kami?

Lalu aku? dengan tidak tahu dirinya ingin menumpang dan hidup tanpa kesusahan dengan membebani mereka? aku masih waras kala itu.

Setelah perbincangan yang cukup menguras dan alasan-alasan yang aku lontarkan pada Mas Jaaiz dan Kak Kinan akhirnya mereka berdua mengizinkan. Malam harinya, sebelum aku memulai pekerjaanku, aku menghampiri kamar Kak Kinan, berbaring di atas pahanya dan meminta masukan. Seperti apa rasanya bekerja? apakah Kak Kinan tidak lelah waktu dulu melakukan pekerjaan dan pendidikannya secara bersamaan, apa itu membuatnya sedih? apa akan mengganggu nilai akademisku? banyak sekali pertanyaanku, seperti biasanya.

Malam itu Kak Kinan cuma bilang "Waktu Kakak kerja part time dan Kak Kinan jadi satu-satunya pegawai yang kerja sambil kuliah, Kak Kinan ngerasa hebat dan rekan-rekan mandang Kak Kinan lebih karena menurut mereka Kakak berada satu level di atas mereka.

Tapi, setelah Kakak berhasil masuk sama kerja di perusahaan besar, Kakak di kelilingi kolega yang lebih hebat dari Kak Kinan, bahkan Kak Kinan merasa gelar S1 gak ada apa-apanya dibanding dengan mereka yang udah studi S2, beberapa bahkan lulusan luar negeri. Kakak ketemu temen-temen yang branding dan reputasi kampusnya jauh lebih favorit.

Elegi BaswaraWhere stories live. Discover now