Sembilan Bulan

44 8 0
                                    

FLASHBACK
- Akhir Tahun 1998 -

Udara siang bulan November cukup bersahabat. Aromanya yang lembab seharusnya cukup menenangkan bagi siapa saja yang menikmati hari ini. Tapi rasanya tidak berlaku bagi Laras. Larasati nama lengkapnya. Mari sedikit membicarakan tentang gadis ini, ya dia masih belia, 18 tahun usianya. Kurang dari seminggu lagi adalah hari ulang tahunnya yang ke 19.

Tubuhnya ideal, pas untuk ukuran gadis seusianya. Rambutnya dicat coklat dengan panjang sepundak, tidak lupa poni depan yang menambah kesan cantik alami bagi gadis di tahun itu. Tubuhnya terbalut tanktop hijau tua dengan celana jeans pendek yang hanya mampu menutup setengah pahanya yang mulus. Wangi tubuhnya bisa dibayangkan seperti setangkai bunga anggrek, Larasati memakai parfum mahal tentunya.

Sebetulnya tidak begitu banyak hal spesial darinya selain kecantikan dan bagaimana pandainya dia merawat diri.

Siang ini, Larasati terlihat begitu gelisah. Dia mondar-mandir di depan cermin kamar kostnya yang berukuran 3x3. Mematut dirinya sendiri berulang kali sambil memegangi perutnya yang terlihat.. datar.

"Duh masa iya sih?"

Laras bermonolog, masih dengan ekspresi kebingungan dan tangannya yang sesekali membuat gerakan memutar.

"Tapi, emang harusnya ini udah masuk tanggalan gue buat dateng bulan sih," masih dengan ocehannya, Laras menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Sambil menatap langit-langit ruangan dia memejamkan matanya gelisah.

"Ahh, gara-gara Om Bimo sama si bule kemarin nih! Kacau bikin gue panik aja."

Sambil mengawang, mengingat apa yang sudah dia lakukan di hari-hari yang lalu, Larasati mencoba menjangkau ponselnya. Nokia 9000, ponsel yang mahal dan hanya kalangan tertentu yang bisa membelinya di masa itu. Jarinya meraba-raba meja nakas, namun belum sempat ponselnya tergenggam, benda itu lebih dulu jatuh menyentuh lantai. Larasati terkejut dibuatnya, karena suara ketukan pintu yang cukup keras terdengar bergemuruh.

"Sial! Bikin kaget aja. Hp gue jadi jatoh kan, siapa sih!?" Sambil menggerutu, Larasati berjalan menuju kenop pintu dan menggeser benda kayu itu hingga terbuka lebar.

"Laras, Laras..! yang lo SMS itu bener? gue langsung kesini loh pas baca SMS lo. Emang lo telat berapa hari?"

Laras terkesiap, dia mundur beberapa langkah setelah mendapati kawan sejawatnya menerobos dengan reaksi yang heboh.

"Melisa, lo gila ya? baru masuk udah nyap-nyap aja. Kaget gue!" Protes Laras sembari menutup pintu. Sedikit bercelinguk memperhatikan tetangga sekitarnya yang tampaknya tidak ada yang peduli. Dia kemudian mengikuti langkah Lisa, -panggilan akrabnya- duduk di atas karpet berbulu.

"Gue lebih kaget, bisa-bisanya lo bikin gue panik," ujar Lisa. Tangannya sibuk menyibak rambut-rambut halus di tengkuknya.

"Harusnya gue kali Sa, yang lebih panik, bukan lo." Laras terlihat tidak begitu menanggapi, dia bersandar pada dinding dan mengambil sebungkus coklat di atas kasurnya.

"Lo udah tes? udah beli test pack?"

Mendengar kalimat itu keluar dari mulut sahabatnya, Larasati memelotot. Tidak habis pikir dengan apa yang baru saja Lisa ucapkan. Sebungkus coklat yang belum seutuhnya dikuliti Laras kini sudah mendarat mengenai tubuh Lisa. Si gadis bermata bulat itu hanya tersenyum sinis sekilas, kemudian mengambil coklat milik Laras dan melahapnya tanpa rasa bersalah.

"Maksud lo apa ngomong kaya gitu Lis?"

"Ya lo bilang telat kan, bisa-bisanya lo telat tapi gak ada pikiran buat beli test pack," Lisa menggerutu.

Elegi BaswaraWhere stories live. Discover now