Balap Liar

36 8 1
                                    

Manusia itu dinamis, tidak pernah bisa sama dalam kurun waktu yang lama. Seringnya mereka berubah pikiran, bisa lebih baik atau sebaliknya. Tidak ada yang salah, semua terjadi karena hukum alam, lingkungan dan seberapa keras benturan yang dia dapat semasa hidup.

Bagi Baswara, lahir dari rahim Ibunya dan ditinggalkan merupakan goresan luka menganga. Dirawat dan dibesarkan keluarga Bunda merupakan pemulihan. Saat dia tumbuh besar, sifat dinamis manusia masuk menyerang logikanya. Bukan semata-mata karena dia bertengkar dengan kedua Kakaknya, tapi ada yang lebih besar dari itu. Arti keluarga, rumah.

Jauh di dasar hatinya, dia ingin kembali ke rumah Bunda, tapi ada satu tempat asing yang Baswara selalu sangkal, yang selalu enggan dikunjungi tapi tetap menjadi bagian di relungnya, dia ingin tinggal dengan Mama kandungnya.

Keadaan berbeda, Baswara mengerti, awalnya. Dia menerima kenyataan dibuang secara tidak langsung dan berakhir membenci Ibunya. Tapi pada akhirnya, anak tetaplah anak, Ibu tetaplah seorang Ibu. Ada satu hal diantara keduanya yang tidak bisa dipisahkan atau dipatahkan oleh sihir terkuat sekalipun di bumi, yaitu ikatan batin.

Dua minggu hampir berlalu setelah Baswara memutuskan untuk menjadi anak yang brengsek; mengikuti jejak sang Ibu, katanya. Hari-hari Baswara sekarang hanya diisi dengan balap liar, dia tidak lagi mengingat kampusnya. Tidak terpikirkan lagi untuk menghubungi sahabat-sahabatnya, padahal mereka menghubunginya siang dan malam dan sudah tidak lagi memendam amarah.

Malam ini Baswara hendak menemui Atuy, sohib barunya. Kakinya baru saja menginjakkan lobi lantai dasar, sampai akhirnya tatapannya bertemu dengan Kinara. Kakaknya berdiri sambil tersenyum. Baswara ingin memeluk, tapi malu menjalar dan ego yang tinggi membuatnya hanya menatap Kinara dalam diam.

"Baswara lagi sibuk?"

"Engga Kak," padahal iya, dia harus bertemu Atuy secepatnya.

"Mau ngomong sama Kakak?"

Samar Baswara mengangguk, kemudian mempersilahkan Kinan berjalan terlebih dahulu. Mereka memilih duduk di salah satu taman dekat dengan apartemen Larasati. Baswara tidak tahu apa yang membuatnya canggung menghadapi sang Kakak, padahal dia rindu luar biasa. Jemarinya bertautan gelisah, dia bahkan banyak membuang muka ketika Kinara menatapnya.

"Baswara apa kabar? sehat-sehat kan? makannya gimana?"

"Baik Kak Kinan. Gak usah khawatir, Mama ngasih apa yang Baswara butuhin kok."

Kinara tersenyum getir, menggigit bibir bawahnya dan mengatur nafas agar suaranya tidak terlalu bergetar. Dia melihat Baswara, adiknya itu masih sama, tidak kurang satu apapun. Tapi Kinan merasa ada yang asing, ada yang berbeda. Tatapannya yang sendu, gerak gerik Baswara yang kaku saat menghadapinya. Padahal, jika dirumah Baswara adalah yang paling manja dengannya.

"Baswara masih marah sama Kak Kinan? sama Mas Jaaiz?'

Baswara menggeleng, "Engga kok."

"Mau pulang? kapan Baswara mau pulang kalau gitu? Baswara gak kangen Kak Kinan?"

"Emm, Baswara belum tau Kak. Mungkin rumah Baswara sekarang disini. Sama Mama."

DEG

Praktis pilu menyerang Kinara. Dia tidak paham, bahkan Baswara tidak berkata kasar, hanya dengan kalimat barusan membuat rasa sedihnya muncul lagi. Berarti, dalam pikirannya, Baswara sudah tidak mau lagi tinggal dengannya, dengan keluarga Bunda.

"Ahh.. syukurlah kalau Baswara betah sama Mama."

Kinara terdiam sesaat, Baswara tau yang diucapkannya menyakiti hati sang Kakak. Maka dia berdehem, kemudian memandang wajah Kinara yang mulai berkaca-kaca.

Elegi BaswaraWhere stories live. Discover now