19. ✓

12.5K 1.4K 19
                                    


Adelin sedari tadi merengek pada Satria yang terus berlari tanpa mau berhenti, dia sudah lelah berlari namun sang Abang tak mau mengerti dirinya sama sekali.

"BangSat capek ihh!"

Adelin merengek, sambil selonjoran tanpa memperdulikan orang-orang yang sedang berlari pagi seperti mereka menoleh sambil menatap aneh kearahnya.

Satria memberhentikan larinya, kemudian berjongkok dihadapan sang Adik.

"Lemah!" ejeknya.

Adelin mendelik tak terima, kakinya dengan ringan menendang tulang kering Satria dan sukses membuat cowok itu mengaduh kesakitan.

"Lemah pala lo, gue belum sarapan dan lo malah ngajak lari sampe 3 putaran tanpa ngasih gue makan. Waras lo?" ujar Adelin memarahi.

"Nggak ada ahlak banget lo jadi adek, sakit sumpah!" rintih Satria, yang kini ikut duduk selonjoran sambil mengelus tulang keringnya.

Adelin nampak acuh, dia bangun dari duduknya kemudian melenggang pergi tanpa menghiraukan panggilan Satria.

Adelin berjalan menyusuri taman untuk mencari tukang bubur ayam, menoleh saat merasa ada yang mencengkal pergelangan tanganya. Dia cukup terkejut namun detik selanjutnya langsung mengubah mimik wajahnya berusaha terlihat seperti biasanya.

"Eh Mantan," sapanya sambil cengegesan.

Masih ingat dengan Liam? Dia mantan Adelin yang ke-26, dan juga pelaku yang mencengkal pergelangan tangannya barusan.

"Aku belum jadi mantan kamu, hubungan kita belum selesai," ralat Liam, tak suka.

Adelin mendelik tak terima, "Maksud lo apaan? Kita udah putus yah,"

Liam menatap datar Adelin, namun tak membuat cewek itu takut sama sekali. Dia sudah sering menerima tatapan itu dari Kafka, jadi sebut saja dia kebal.

"Belum, kita belum putus Del! Kamu mutusin hubungan kita sepihak tanpa ada persetujuan dari aku,"

Memang benar adanya begitu. Bisa dikatakan Adelin memutuskan Liam secara sepihak, tanpa menunggu jawaban dari cowok itu dia langsung memblokir nomor Liam.

"Ya tapikan aku udah anggap kita udah putus, kita selesai Liam!" marah Adelin dan berusaha menyetak dan menepis tangan Liam.

Menyadari itu Liam semakin mencengkram kuat pergelangan tangan Adelin membuat tangan gadis itu memerah. Adelin ingin menangis saja rasanya, pergelangan tanganya terasa sangat sakit namun menangis bukan gayanya, dia tak mau dan boleh terlihat lemah di hadapan Liam.

"Lepasin tangan gue Liam!" sentak Adelin sambil terus memberontak.

Liam semakin mengencangkan cengkeramannya, "Nggak, sebelum kamu mau balikan sama aku,"

Adelin melotot tak terima, "Nggak, gue nggak bisa balik sama lo lagi Liam. Please lo bisa cari cewek lain yang lebih baik dari gue"

Liam mengeraskan rahangnya, "Apa alasan kamu sampe mutusin hubungan kita hah?! Kamu minta putus tanpa alasan yang jelas bahkan kamu nggak menunggu persetujuan dari aku,"

Adelin meringis, Liam mencengkram pergelangan tanganya semakin kuat, "Liam jangan gila, please lepasin!"

"Aku nggak peduli, kamu harus balikan sama aku,"

"Lo kira gue cewek apaan? Cinta nggak bisa di paksa dan gue nggak cinta sama lo, sikap lo yang kaya kini bikin gue tambah benci sama lo," amuk Adelin dengan mata memerah.

"Lepasin tangan haram lo dari dia. Lo cowok apa banci? Beraninya kok sama cewek,"

Liam dan Adelin kompak menoleh ke arah sumber suara, bibir Adelin mengukir senyum kemudian mengusap ujung matanya yang berair.

Liam melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Adelin. Matanya beralih menyorot tajam penuh tak suka kearah Kafka. Sedangkan Kafka dengan santainya memasukan satu tangan dalam saku celana training.

"Lo ngak usah ikut campur sama urusan gue," ujar Liam, terlihat amat tak suka.

"Gue berhak ikut campur untuk masalah ini," balas Kafka masih santai.

"Lo siapa? Hubungan lo apa sama Adelin? Sampe lo ikut campur urusan kita,"

Kafka memandang Adelin yang sedang meniup-nuip pergelangan tangannya yang memerah, sambil menggerutu kecil, bisa dia tebak cewek itu pasi menyumpah-serapahi Liam dan tanpa sadar ia tersenyum geli, kemudian kembali beralih menatap Liam dengan tatapan tajam.

"Dia pacar gue!"

...

"Dia pacar gue, aduhh baper bangetttt!"

Kafka mendengus kesal, menyesal telah mengatakan itu. Sedangkan Adelin di sampingnya masih mengoceh tentang kejadian beberapa menit lalu.

"Diam, atau gue tinggalin lo di sini," ancam Kafka kesal sendiri.

"Ihh Bubu mah gitu, jangan gitu donggg," rengek Adelin.

"Makanya diam,"

Adelin diam, meski masih menggoda Kafka tentang pernyataannya tadi lewat lirikan mata.

"Del!" panggil Kafka memperingati.

"Iya maaf," ucapnya segera.

"Cewek tadi siapa?"

"Cewek apa sih yang? Aku cuman beli minum di depan sana loh,"

"Jangan bohong, aku liat kamu pelukan sama dia. Jujur sama aku,"

"Maksud kamu apa sih?"

Adelin dan Kafka menoleh, kemudian sama-sama berhenti berjalan merasa tertarik menyaksikan pertengkaran sepasang kekasih yang posisinya tak jauh dari tempat mereka sekarang.

"Semangat Mbak! Itu ada ponsel di tangan Mas-nya, ada air juga, tinggal pilih," teriak Adelin semangat.

"Ponselnya mahal itu Mbak, banting aja Mbak banting ponselnya, cowok yang selingkuh nggak usah di kasih maaf!"

"Atau siram aja muka Mas-nya pake air, tampang biasa aja kok selingkuh,"

Keterdiaman Adelin hanya sesaat, kini cewek itu sudah berseru heboh mengompori si wanita yang terlihat sangat kecewa dengan si pira.

"Del," tegur Kafka.

"Stt Bubu diam dulu, selanjutnya bakalan seru nih.. loh, lohhhh, anjayyyy," Adelin tertawa heboh melihat aksi selanjutnya.

Si pria menyiram wajahnya sendiri dengan air di tangannya, mungkin terlalu sayang dengan ponselnya.

"Banting ponselnya Mbak, itu pasti ada banyak chat sama selingkuhannya," belum puas, Adelin kembali mengompori.

...

Hai, Bubu! (END)Where stories live. Discover now