2

52 25 112
                                    

Tanganku menulis pada buku catatan. Aku melirik ke sisi kanan, Lei tengah duduk bersila di kasur sambil melihat ke arah tulisan yang kutulis. Sejak kapan ....

"Hei!" Aku menutup buku catatan dengan tangan kiriku terselip di dalamnya untuk menahan halaman buku. "Pertunjukannya sudah selesai. Akan kupanggil lagi bila aku punya sesuatu untuk kau tonton."

Lei mengembuskan napas panjang dan merebahkan tubuh di kasur tempatnya duduk. "Aku tak akan menirunya. Trik sulapmu tak akan bisa kumainkan dengan biola."

Siapa pun itu, aku tidak akan mengizinkannya melihat isi buku catatan tempat menuliskan trik-trik sulap yang telah kupelajari, tak peduli apa alasannya. Banyak hal lain yang juga tertulis di sini, seperti keluhan tentang orang-orang. Aku berani bertaruh Lei akan menertawakanku bila membacanya.

"Permainanmu masih kurang halus, Al. Lempar kartunya dengan lebih tenang. Kalau kamu terus saja melempar seperti tadi, kamu tak akan pernah cocok menjadi pesulap. Permainan voli adalah bidang yang lebih tepat untuk lemparan-terlalu-bersemangat seperti tadi."

Mataku meliriknya yang kembali duduk bersila, sementara tanganku menutup buku catatan sepenuhnya. Aku berdiri menghadapnya, meninggalkan buku di lantai. Kuambil kartu di meja dan memeragakan cara melempar kartu.

Aku mencoba mengayunkan tangan kanan melintang dari bahu kiri ke atas kepala, sementara Lei menggeleng. "Tidak, Al. Coba ayun tanganmu di depan wajah. Jangan terlalu kencang, urutan kartumu akan hancur karenanya. Sedikit lagi .... Coba naikkan kecepatan tanganmu sedikit .... Tepat! Tepat seperti itu! Sekarang coba lempar."

Tangan kananku bersiap di depan dada sambil memegang deret kartu, mengayun ke atas, dan melemparkan kartunya ke udara. Mataku melirik ke sisi kanan, tempat kartu raja wajik jatuh. Posisinya beberapa sentimeter di samping bahuku, terutama dengan waktu yang terasa diperlambat dalam penglihatanku. Tanganku mengambilnya dengan cepat dan tenang, menunjukkan kartu tersebut pada Lei yang tengah menepuk tangan.

"Lebih baik. Terasa lebih mengalir." Ia berhenti menepuk tangan dan mengambil kartu dari tanganku. Matanya tertuju pada kartu tersebut untuk beberapa lama, dan selama itu pula, aku terdiam di tempat. Kartu-kartu yang lain telah terbaring di lantai, menimpa satu sama lain, dan aku malah memilih menunggu Lei bersuara.

Akhirnya Lei mengembalikan kartu di tangannya sambil menyeringai. "Kamu telah berhasil mengetahui arti kartunya, bukan? Pasti kamu tahu aku akan memilihnya."

Raja wajik.

Raja, pemegang kekuasaan dalam sebuah kerajaan. Mengartikan pemimpin. Wajik, atau biasa disebut diamond, yang berarti berlian, berarti harta.

"Raja yang haus akan harta, tahta, dan kekuasaan, ya?" tanyaku pelan sambil memandangi kartu raja wajik yang sekarang berada di tanganku. Pikiran Lei tak pernah bisa kumengerti, tak peduli sudah berapa tahun aku mengenalnya. Namun, bagi seorang Lei, setiap hal bisa menjadi sesuatu yang indah seindah-indahnya, atau benar-benar berkebalikan dengan pilihan pertama—buruk seburuk-buruknya.

Lei mengangguk. Seringai lebar di wajahnya memudar, menyisakan seulas senyum tipis yang sendu. Apa ... ia prihatin karena seorang pemimpin seperti raja malah haus akan harta? Jujur, aku pun menyayangkan hal itu. Pemimpin adalah panutan bagi orang-orang, tapi ia malah menjadi orang yang ... mengerikan.

"Benar. Seandainya aku bisa sepertinya."

Tanpa sempat ditahan, aku membelalak mendengar jawabannya. Bisa sepertinya? Mementingkan kepuasan diri sendiri dan mengesampingkan rakyatnya? Bukankah itu hal buruk?

Ia tahu aku terkejut dan bertanya maksud perkataannya, tapi alih-alih menjawabku, ia malah tertawa sambil berdiri, menepuk pundakku. Langkahnya melintasi kamarku, meninggalkanku yang lagi-lagi menganga.

End of The MagicOnde histórias criam vida. Descubra agora